Desil Menipu Realita? Lansia Miskin yang Gugur dari Daftar Penerima Bansos

Desil Menipu Realita? Lansia Miskin yang Gugur dari Daftar Penerima Bansos | dok AMS

Kota, Wartatasik.com – Mak Emin (63) hidup dalam kesunyian yang tak dipilihnya, tinggal di rumah petak di sudut Kota Tasikmalaya.

Ia bukan hanya seorang lansia, tetapi juga ibu sekaligus ayah bagi dua cucunya yang ditinggalkan kedua orangtuanya meninggal dunia.

Di usia senjanya, beban hidup yang semestinya telah ringan justru menumpuk seperti cucian yang setiap hari ia kerjakan demi menyambung hidup.

Mak Emin bekerja sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah. Upah yang ia terima seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi kebutuhan gizi dan pendidikan cucunya. Namun perempuan renta itu tetap menahan letih, seakan hidup memaksanya untuk kuat.

“Mak teh teu gaduh nu nyorang. Ieu cucu-cucu kedah diurus. Sering teu gaduh sangu, tapi kumaha deui,” ujarnya terbata, menahan air mata.

Air mata Mak Emin akhirnya tumpah saat Angkatan Muda Siliwangi (AMS) Distrik Kota Tasikmalaya datang memberikan paket sembako dan santunan tunai untuk cucunya.

Bantuan itu mungkin tidak menyelesaikan seluruh masalah, namun setidaknya menjadi bukti masih ada pihak yang peduli.

Kedua cucunya pun hanya menunduk, memeluk amplop santunan seolah memegang harapan baru. Namun kebahagiaan sesaat itu segera diselimuti ironi ketika fakta ini terungkap, Mak Emin tidak pernah sekalipun tercatat sebagai penerima bantuan pemerintah.

Alasannya sungguh menyesakkan, ia dianggap tidak layak menerima bantuan sosial karena memiliki “desil di atas lima” kategori yang menurut pemerintah bukan termasuk warga miskin.

Rumah yang Salah Dimengerti Negara

rumah yang dijadikan dasar penilaian itu bukanlah simbol kemakmuran. Bangunan itu bahkan belum selesai, berdinding seadanya, dan kini dihuni empat kepala keluarga yang sama-sama hidup serba kekurangan. Berdiri disebuah gank Saguling panjang Kelurahan Cilamajang Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya

Rumah itu adalah warisan keringat almarhum suaminya bukan aset kekayaan, tetapi bukti perjuangan yang tak pernah dihargai negara.

“Rumah ini belum jadi. Tapi kata orang dari pemerintah, karena Mak punya rumah, Mak dianggap mampu. Padahal Mak bahkan sering kesulitan buat beli beras,” ucapnya lirih.

Kebijakan Desil : Data, atau Sekadar Angka yang Memiskinkan ?

Kondisi Mak Emin menguak pertanyaan yang lebih besar: siapa sebenarnya yang menentukan desil kemiskinan itu? Apakah melalui survei yang benar-benar menyentuh realitas warga ? Ataukah sekadar penilaian sepintas bahwa memiliki bangunan berarti mampu, meski tidak ada makanan di dapur ?

Salah seorang pengurus Angkatan Muda Siliwangi (AMS) Distrik Kota Tasikmalaya, , Rian Sutisna, SH., menyebut kasus Mak Emin sebagai potret kegagalan tata kelola data sosial pemerintah.

“Banyak warga miskin yang terpinggirkan karena basis data yang tidak akurat. Pemerintah seolah sibuk membuat kategori, tapi lupa melihat manusia di dalamnya,” ujar Rian dengan nada tegas.

Ia menilai pemerintah terjebak pada angka, bukan realita. Desil, kata Rian, telah berubah menjadi pagar yang menyingkirkan rakyat kecil dari hak yang seharusnya mereka terima.

Ketika Negara Tidak Hadir, Solidaritas Sipil Mengisi Kekosongan

Rian menegaskan, kelemahan pendataan membuat bantuan sosial sering jatuh ke tangan yang salah. Mereka yang benar-benar membutuhkan justru terlewat, seperti Mak Emin yang dibiarkan bertahan dengan beban hidup yang tak sesuai usia.

“Bukankah tugas negara melindungi warganya yang paling rentan? Kalau data saja keliru, maka kebijakannya pasti meleset,” tambah Rian.

Di tengah sistem yang dingin dan kaku, organisasi masyarakat seperti AMS menjadi penyambung nyawa bagi mereka yang kehilangan akses pada keadilan sosial.

Di usia 63 tahun, Mak Emin tidak menuntut kemewahan. Ia hanya ingin cucunya tidak kelaparan, tidak putus sekolah, dan tidak tumbuh dengan luka sosial yang diwariskan kemiskinan.

“Mak teu nyuhunkeun nanaon. Upami parantos aya perhatian sapertos kieu, Mak parantos bungah,” katanya dengan suara bergetar.

Haruskah seorang lansia menunggu belas kasihan masyarakat, sementara negara sibuk menghitung angka yang bahkan tidak mencerminkan kenyataan?

Selama jawaban itu masih menggantung, kisah seperti Mak Emin akan terus lahir bukan karena kemiskinan tak dapat dihapus, tetapi karena negara memilih untuk tidak benar-benar melihatnya.

Pembagian Sembako itu, diadakan secara Roadshow yang dibagikan kepada para Jompo dalam rangka momentum puncak Milangkala AMS Ke-59. Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama antara Hidayah Berbagi Indonesia, Dinas Sosial dan AMS Distrik Kota Tasikmalaya. Asron

Berita Terkait