
Kota, Wartatasik.com – Langkah penertiban bangunan di atas saluran irigasi Cimulu oleh Satpol PP dan UPTD PSDA Wilayah Sungai Citanduy patut menjadi refleksi bersama. Di atas kertas, penegakan ini adalah bentuk hadirnya negara dalam menata ruang dan melindungi lingkungan. Namun, realitas kebijakan ini tidak lepas dari kritik, terutama terkait ketidakkonsistenan dan ketimpangan dalam implementasinya.
“Jika kita menilik pendekatan yuridis dan etis dalam penegakan hukum ruang, seharusnya kebijakan tidak hanya menyasar pelanggaran kecil yang kasat mata, namun juga menyentuh pelanggaran besar yang berdampak sistemik,” ujar Muamar Khadapi, Ketua Cabang SAPMA PP Kota Tasikmalaya, Selasa (28/7/2025).
Disinilah pemerintah kota, lanjutnya, Wali Kota Tasikmalaya terkesan membangun narasi ketegasan secara selektif, yang dalam jangka panjang justru merusak prinsip keadilan, “Dua Catatan Besar: Asia Plaza dan Terminal Mangkrak,” tambahnya.
Pertama, keberadaan bangunan Asia Plaza di atas Daerah Aliran Sungai (DAS) telah lama menjadi persoalan publik. Dalam logika penataan ruang, bangunan ini diduga kuat berkontribusi pada penyempitan badan sungai dan memperparah banjir di kawasan Jalan HZ. Namun hingga hari ini, belum ada tindakan hukum atau administratif yang tegas dari Pemerintah Kota terhadap pelanggaran tersebut.
Padahal, secara normatif, pelanggaran ini masuk dalam kategori serius:
1. Pasal 70 ayat (2) huruf G Perda No. 4 Tahun 2012: Larangan mendirikan bangunan di sempadan sungai.
2. Pasal 69 UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja: Ancaman pidana 3 tahun dan denda Rp 1 miliar bagi pelanggar tata ruang.
3. Pasal 98 UU No. 32 Tahun 2009: Sanksi bagi perusakan lingkungan akibat pelanggaran tata ruang.
“Kedua, Terminal Indihiang sebagai salah satu infrastruktur vital dalam sistem transportasi kota telah terbengkalai selama lebih dari 17 tahun. Fakta ini mencerminkan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap perencanaan kota yang berkelanjutan,” imbuhnya.
Lanjutnya lagi, bukannya mengoptimalkan terminal sebagai pusat distribusi dan mobilitas masyarakat, pemerintah kota justru membiarkan kawasan strategis ini menjadi ruang mati, “Sekaligus mengabaikan mandat undang-undang tentang fungsi terminal tipe A,” imbuhnya.
“Kontras ini antara ketegasan di Cimulu, pembiaran di HZ, dan stagnasi di Indihiang menunjukkan ketidakhadiran visi kepemimpinan yang holistik dalam penataan ruang Kota Tasikmalaya,” katanya.
Tambah Ia, penegakan hukum yang tidak menyeluruh mencederai prinsip equality before the law bahwa semua orang, kelompok, atau entitas korporasi harus tunduk di hadapan hukum. Dalam adagium klasik disebutkan: Fiat justitia ruat caelum Keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh,” imbuhnya.
“Namun saat hukum hanya digunakan untuk menindak pelanggaran yang lemah secara sosial atau politik, dan tidak menyentuh kekuatan ekonomi atau jaringan kekuasaan, maka kita sedang menghadapi gejala degenerasi hukum menjadi alat kekuasaan,” katanya lagi.
SAPMA Pemuda Pancasila Kota Tasikmalaya menilai bahwa Wali Kota hari ini gagal memberikan keteladanan dalam menegakkan hukum secara menyeluruh dan tidak diskriminatif. Ketegasan tidak boleh dipertontonkan secara simbolik hanya kepada yang lemah, tetapi harus diuji pada pelanggar yang besar.
“Pemerintahan daerah seharusnya tidak hanya mengatur ruang, tetapi juga membangun kepercayaan publik. Normalisasi irigasi Cimulu hanya akan bernilai jika disertai dengan normalisasi keadilan. Penataan kota tidak hanya soal membongkar bangunan kecil, tetapi juga soal membongkar kebijakan yang tidak adil,” tuturnya.
Jika Terminal Indihiang tetap dibiarkan mati dan Asia Plaza tetap berdiri di atas aliran sungai tanpa tindakan, maka setiap pembongkaran warung kecil akan selalu dibaca sebagai simbol dari kebijakan yang timpang dan kehilangan integritas.
“Kota yang sehat tidak dibangun dari represifitas, tetapi dari keadilan ruang yang ditegakkan secara setara dan berkelanjutan,” tandasnya. Asron