Edukasi Literasi Digital di SMAN 1 Cisaga, Siswa Kelas XII Dibekali Pemahaman Hoaks dan Misinformasi

Foto: dokpri

Referensi – Perkembangan teknologi digital dan media sosial telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat mengakses dan menyebarkan informasi.y Informasi kini dapat diperoleh dengan cepat melalui gawai dan berbagai platform digital. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan serius berupa maraknya penyebaran hoaks dan misinformasi yang sulit dikendalikan.

Hoaks dan misinformasi menjadi persoalan penting karena tidak semua informasi yang beredar di ruang digital dapat dipercaya kebenarannya. Banyak informasi yang dibuat tanpa dasar fakta yang jelas, bahkan sengaja disebarkan untuk tujuan tertentu. Kondisi ini menuntut masyarakat, khususnya generasi muda, agar memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dalam menyikapi setiap informasi yang diterima.

Sebagai bentuk kepedulian terhadap permasalahan tersebut, kegiatan edukasi literasi digital dilaksanakan di SMAN 1 Cisaga, Kabupaten Ciamis. Kegiatan ini menyasar siswa kelas XII yang dinilai telah aktif menggunakan media sosial dan memiliki peran penting sebagai generasi penerus di era digital.

Melalui kegiatan ini, siswa diberikan pemahaman mengenai pengertian hoaks, misinformasi, dan disinformasi. Ketiganya memiliki perbedaan mendasar, baik dari segi niat maupun dampak yang ditimbulkan. Hoaks dan disinformasi umumnya disebarkan secara sengaja untuk menyesatkan atau memengaruhi opini publik, sedangkan misinformasi terjadi akibat kesalahan atau kurangnya pemahaman.

Selain materi konsep dasar, siswa juga diajak untuk memahami bagaimana budaya digital dan perilaku pengguna media sosial ikut memengaruhi menyebarnya informasi palsu. Kebiasaan membagikan berita secara spontan tanpa membaca isi secara menyeluruh menjadi salah satu penyebab utama penyebaran hoaks di masyarakat.

Faktor lain yang turut mempercepat penyebaran hoaks adalah peran algoritma media sosial. Algoritma cenderung menampilkan informasi yang sesuai dengan minat pengguna, sehingga seseorang sering terjebak dalam lingkaran informasi yang sama. Akibatnya, berita palsu yang terus muncul dapat dianggap benar karena sering dibaca dan dibagikan.

Penyebaran hoaks dan misinformasi memiliki dampak nyata dalam kehidupan sosial. Informasi palsu dapat memicu kesalahpahaman, konflik, dan menurunnya rasa saling percaya antarindividu. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana komunikasi positif justru kerap menjadi ruang penyebaran ujaran kebencian dan perpecahan.

Dalam bidang politik, hoaks sering dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, terutama dalam momen penting seperti pemilihan umum. Informasi palsu dapat membentuk opini publik yang keliru dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara. Hal ini berpotensi mengganggu stabilitas demokrasi dan kehidupan berbangsa.

Sementara itu, dampak hoaks juga dirasakan di sektor kesehatan. Informasi keliru mengenai pengobatan, vaksin, atau penyakit tertentu dapat mendorong masyarakat mengambil keputusan yang salah. Kondisi ini membahayakan kesehatan individu maupun masyarakat secara luas.

Melalui edukasi literasi digital, siswa kelas XII SMAN 1 Cisaga diharapkan mampu mengenali ciri-ciri informasi palsu dan memahami pentingnya verifikasi sumber. Sikap bijak dan bertanggung jawab dalam bermedia digital menjadi bekal penting bagi siswa dalam menghadapi derasnya arus informasi.

Foto: dokpri

Sekolah dipandang memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran literasi digital. Melalui pembelajaran dan kegiatan edukatif, sekolah dapat menanamkan nilai kejujuran, kritis, dan etika dalam penggunaan teknologi informasi kepada peserta didik.

Kegiatan edukasi literasi digital ini diharapkan menjadi langkah awal dalam menciptakan generasi muda yang cerdas dan tangguh menghadapi tantangan era digital. Dengan kemampuan memilah dan menyikapi informasi secara bijak, siswa dapat berkontribusi dalam menciptakan ruang digital yang sehat serta bebas dari hoaks dan misinformasi.**

Penulis: Ghazian Zhafiri Rizqullah, Deta Sari Mayang Wulan, Aulia Lestari, Aisha Nurrohmah, Alya Rahmadania, Apip Abdul Nazib (Mahasiswa Program studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Siliwangi)

 

Berita Terkait