
Tasikmalaya, Wartatasik.com – Ketua Bidang Kaderisasi Mahasiswa Tasik Timur Dina Diana Ginanjar mengatakan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya menjadi simbol keberpihakan negara terhadap anak sekolah, kini justru diselimuti awan tebal dugaan kolusi, nepotisme dan kepentingan politik di Kabupaten Tasikmalaya.
Di atas kertas, katanya, MBG adalah program nasional yang sangat mulia. Anak sekolah dijamin bisa belajar tanpa rasa lapar, dengan makanan sehat yang disediakan melalui dapur-dapur penyelenggara, “Tetapi di lapangan, aroma yang tercium justru berbeda. Bukan lagi sekadar aroma nasi dan sayuran bergizi, melainkan aroma tajam politik dan kepentingan pribadi anggota dewan,” ujarnya, Senin (15/9/2025).
Katanya lagi, dewan berperan ganda, banyak laporan yang menyebutkan, sejumlah anggota DPRD di Tasikmalaya tidak lagi berdiri di posisi netral. Mereka bukan hanya merancang anggaran, tapi juga ikut menikmati langsung alokasi dana melalui dapur-dapur MBG.
“Fakta dilapangan menunjukkan, khususnya di wilayah Tasik Timur dan umumnya di seluruh Tasikmalaya, banyak anggota dewan yang terafiliasi dengan dapur penyedia program MBG,” tuturnya.
Kondisi ini, tambah Dina, menimbulkan dugaan kuat bahwa anggota dewan menggunakan pengaruh dan posisinya untuk memenangkan kontrak, mengamankan alokasi, hingga memastikan keuntungan finansial dari program yang semestinya mereka awasi.
“Fungsi pengawasan yang mestinya dijalankan secara objektif, justru bergeser menjadi fungsi perlindungan kepentingan pribadi,” imbuhnya.
“Masalah lain muncul dari pola pengelolaan. Beberapa yayasan yang menjadi penyelenggara MBG bahkan mampu mengoperasikan lebih dari dua dapur sekaligus. Pertanyaan publik pun sederhana: bagaimana mungkin satu yayasan bisa menguasai banyak dapur, kecuali ada intervensi politik dan dukungan dari pihak berpengaruh?
Hal ini jelas menimbulkan kesan bahwa distribusi tidak merata, melainkan terpusat pada kelompok yang memiliki kedekatan dengan elite politik,” katanya.
Padahal, lanjutnya, aturan negara sudah sangat jelas. Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 236 ayat (1) melarang anggota DPR rangkap jabatan di badan atau lembaga yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. “Artinya, keterlibatan langsung anggota dewan dalam bisnis dapur MBG jelas mencederai aturan hukum,” imbuhnya.
Lebih dari itu, Kode Etik DPR (Peraturan DPR No. 1 Tahun 2015) Pasal 6 ayat (4) juga menyatakan bahwa anggota DPR dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan atau keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili, maupun golongan. Dugaan keterlibatan sejumlah dewan dalam proyek MBG adalah potret nyata pelanggaran etik ini.
“Ironisnya, program yang mestinya jadi penopang masa depan anak bangsa, justru berubah menjadi bancakan politik. Anak sekolah mungkin memang dapat makanan, tapi anggota dewan yang berkolusi dapat “makanan” yang jauh lebih besar: kontrak, keuntungan, dan kontrol anggaran.
“Jika benar praktik semacam ini terjadi, maka fungsi DPR sebagai lembaga pengawas sudah lumpuh. Dewan berubah dari wasit menjadi pemain, dari pengontrol menjadi penerima manfaat, dari pelindung rakyat menjadi pelindung bisnis sendiri,” katanya.
Publik Tasikmalaya, khususnya orang tua murid dan tenaga pendidik, kini berharap agar program MBG dikembalikan ke tujuan awalnya. “Program gizi anak sekolah, bukan gizi kantong politisi. Transparansi, pemeriksaan independen, dan evaluasi menyeluruh harus segera dilakukan agar program nasional ini tidak rusak karena ulah segelintir elite,” kata Dina.
“Program makan bergizi seharusnya menjadi warisan kebaikan, bukan sekadar “proyek basah” yang dimonopoli oleh mereka yang seharusnya menjaga marwah demokrasi,” tandasnya.Red