
Kota, Wartatasik.com – Kasus bahan bakar Pertamina di Tasikmalaya yang dilaporkan tercampur air mulai dari Pertalite hingga Pertamax telah menimbulkan keresahan luas.
Puluhan kendaraan jenis motor dan mobil mogok usai mengisi BBM di sejumlah SPBU. Kejadian ini bukan sekadar insiden teknis, tetapi sinyal krisis kepercayaan publik terhadap tata kelola energi nasional.
Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) tidak hanya berperan sebagai pelaku bisnis, tetapi juga pelaksana mandat konstitusi untuk memastikan energi yang layak, aman, dan berkualitas bagi rakyat.
Ketika air muncul dalam tangki bahan bakar, yang tercemar bukan hanya bensin, tetapi juga kredibilitas negara.
Dalam diskursus publik, muncul dugaan bahwa pencampuran air pada BBM mungkin berkaitan dengan penambahan etanol (C₂H₅OH) dalam bahan bakar.
Ketua Cabang SAPMA PP Kota Tasikmalaya, Muamar Khadapi mengatakan bahwa secara kimia, etanol bersifat higroskopis, yaitu mudah menyerap uap air dari udara. Dalam kadar tertentu, etanol memang digunakan sebagai bahan campuran (bioetanol) untuk meningkatkan oktan dan mendukung kebijakan green energy.
“Namun, kadar etanol yang digunakan Pertamina pada produk seperti Pertalite atau Pertamax sangat rendah dan telah diatur dengan ketat oleh SNI 06-3506-1994 serta Permen ESDM No. 12 Tahun 2015 tentang Pencampuran Bahan Bakar Nabati dalam BBM,” ungkapnya, Selasa (4/11/2025).
Dengan demikian, lanjutnya, kemungkinan etanol menyebabkan air di tangki SPBU sangat kecil, kecuali terjadi kesalahan besar dalam proporsi pencampuran atau tidak adanya pengendalian kelembapan selama penyimpanan.
“Artinya, fenomena bensin bercampur air di Tasikmalaya lebih kuat mengarah pada kelalaian sistem distribusi dan penyimpanan, bukan akibat reaksi kimia dari bahan bakar itu sendiri. Ini bisa terjadi karena tangki penyimpanan di SPBU tidak tertutup rapat, adanya kebocoran pipa bawah tanah, atau human error dalam proses pengiriman dari depo Pertamina ke SPBU,” imbuhnya.
Jika benar pengecekan dilakukan setiap dini hari, lanjutnya, sebagaimana klaim Pertamina, maka muncul pertanyaan akademis sekaligus moral. Apa yang sebenarnya diperiksa? Apakah pengecekan hanya bersifat administratif dan rutin formalitas, atau benar-benar dilakukan secara substantif dan teknis dengan alat ukur kadar air dan kontaminasi BBM?
“Sistem energi nasional sejatinya memiliki mekanisme pengawasan berlapis, dari Kementerian ESDM, Pertamina Patra Niaga, hingga ESDM Provinsi Jawa Barat yang memiliki fungsi pembinaan dan pengawasan di wilayah.
Namun, kasus di Tasikmalaya menunjukkan betapa fungsi pengawasan ini nyaris tidak efektif,” katanya.

Lanjutnya, Kementerian ESDM tidak bisa sekadar “minta klarifikasi” kepada Pertamina. Ia harus melakukan audit lapangan menyeluruh terhadap rantai distribusi BBM, termasuk kondisi tangki penyimpanan, sistem transportasi, dan standar mutu di setiap depo. Dinas ESDM Jawa Barat pun tidak boleh berperan pasif, mereka adalah perpanjangan tangan negara di daerah yang wajib memastikan pengawasan teknis berjalan.
“Ketika BBM yang seharusnya menjadi penggerak ekonomi rakyat justru menjadi penyebab kendaraan mogok, maka yang rusak bukan hanya mesin motor, tetapi juga sistem akuntabilitas publik. Pemerintah tampak gagal menjalankan prinsip responsiveness dan accountability yang menjadi ruh dari good governance,” ungkapnya lagi.
Dalam konteks pelayanan publik, tambah Khadapi, mutu energi adalah simbol kehadiran negara. Saat rakyat harus menanggung kerugian karena bensin tercemar air, negara tidak bisa cukup dengan meminta maaf, “Diperlukan tanggung jawab konkret dan transparansi data, mulai dari hasil uji laboratorium BBM di lapangan, hingga audit independen terhadap depo Pertamina di wilayah Priangan Timur,” tuturnya.
Katanya, fenomena “air dalam BBM” tidak boleh berhenti di Tasikmalaya, harus dibaca sebagai peringatan nasional tentang rapuhnya sistem kontrol energi publik. Bahwa di tengah jargon transformasi energi hijau dan digitalisasi sistem, negara masih gagal menjamin hal paling dasar, bahan bakar yang layak untuk kendaraan rakyat.
“Jika kepercayaan publik sudah tercampur sebagaimana bensin di tangki, maka yang mogok bukan hanya kendaraan, tetapi juga legitimasi negara dalam mengelola sumber daya yang seharusnya menjadi milik bersama,” imbuhnya.
Etanol, lanjutnya, mungkin menjadi kambing hitam dalam diskusi publik, tetapi akar masalahnya jauh lebih dalam, lemahnya sistem pengawasan, minimnya transparansi, dan absennya tanggung jawab institusional, “Negara tidak boleh berlindung di balik istilah teknis atau dalih “proses masih diselidiki”,” ungkapnya.
“Yang dibutuhkan publik hanyalah satu hal sederhana, kepastian bahwa bensin yang mereka beli adalah bensin, bukan air,” tandasnya. Red
