
Kabupaten, Wartatasik.com – Mahasiswa Tasik Timur (MTT) menyesalkan atas fenomena yang terjadi di lapangan terkait pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di wilayah Kecamatan Gunungtanjung, Kabupaten Tasikmalaya.
Ketua Bidang Kaderisasi Mahasiswa Tasik Timur, Dina Diana Ginanjar mengatakan bahwa program yang seharusnya menjadi simbol kepedulian pemerintah terhadap gizi anak-anak, kini justru menjadi sorotan tajam karena persoalan mendasar, mutu dan higienitas yang diabaikan.
“Pada 21 Oktober 2025, ditemukan fakta memalukan dalam paket makanan yang dibagikan kepada salah satu lembaga pendidikan atau penerima manfaat, terdapat rambut dan lalat di antara sajian yang semestinya bersih dan layak konsumsi,” ujarnya, Jumat (31/10/2025).
Katanya, beberapa pengajar PAUD dan Taman Kanak-Kanak bahkan menyampaikan kekecewaan karena porsi makanan terlalu sedikit dan tidak sebanding dengan kebutuhan gizi anak usia dini.
Lebih parah lagi, lanjut Dina, para orang tua penerima manfaat menitipkan pesan agar menu susu tidak diganti-ganti, karena perubahan merek yang dilakukan justru menurunkan kualitas gizi anak.
“Menurut mereka, merk lama dengan inisial “U” jauh lebih baik dibandingkan susu pengganti yang kini disalurkan, yang kualitasnya diduga lebih rendah dan tak memenuhi standar,” ungkapnya.
Namun puncak kekecewaan muncul kembali pada 29 Oktober 2025, lanjutnya lagi, ketika ditemukan menu kacang panjang yang mengandung belatung ikut dimasak dan disajikan kepada anak-anak.
“Fakta ini bukan sekadar keteledoran, melainkan cerminan gagalnya sistem pengawasan dan kontrol mutu dari pihak pelaksana maupun instansi yang bertanggungjawab,” jelasnya.
Katanya lagi, bagaimana mungkin makanan yang seharusnya menjadi sumber gizi justru berubah menjadi sumber penyakit? “Di mana tanggung jawab moral dan profesionalisme penyelenggara program yang dibiayai oleh uang rakyat ini?” tanyanya.
“Kita tidak bisa lagi menutup mata. Program MBG di Gunungtanjung telah berubah dari niat mulia menjadi ironi kebijakan. Pemerintah daerah dan dinas terkait seolah lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan, membiarkan vendor atau pihak penyedia makanan bekerja asal-asalan tanpa memperhatikan aspek kebersihan dan kualitas,” terangnya.
Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tapi bentuk nyata pengkhianatan terhadap amanah publik. Anak-anak yang seharusnya dilindungi justru dijadikan korban dari proyek yang dikelola tanpa hati nurani.
“Kami, Mahasiswa Tasik Timur, menegaskan bahwa kritik ini bukan tanpa dasar. Ini suara dari lapangan, dari guru, dari orang tua, dan dari nurani kami yang menolak melihat kebijakan publik dijalankan tanpa rasa tanggung jawab,” jelasnya.
Tegasnya lagi, pemerintah daerah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh, memutus kontrak dengan penyedia yang lalai, dan menindak tegas siapa pun yang bermain dalam distribusi pangan anak-anak.
“Jangan tunggu sampai kasus ini menjadi tragedi kesehatan baru di Tasikmalaya. Karena bagi kami, ketika makanan anak-anak tercemar, itu bukan sekadar kesalahan teknis itu adalah bentuk kegagalan moral,” tandasnya. Asron

 
                                         
                             
                            