
Patuh atau Lemah? Tunduknya Indonesia pada Kapitalisme Global
Amerika Menggertak, Kita Angguk-Angguk…
Referensi – Beberapa waktu terakhir, pemerintah Amerika Serikat menaikkan tarif untuk sejumlah produk-produk dari negara lain, termasuk Indonesia.
Kebijakan ini disebut tarif resiprokal, alasannya adalah demi keadilan dagang. Hal ini di respon dengan sangat hati-hati oleh pemerintah Indonesia.
Alih-alih lepas dari ketergantungan terhadap negara lain, Indonesia menunjukkan kepatuhan kepada negara adidaya tersebut.
Indonesia menambah volume impor produk dari Amerika Serikat untuk mengurangi defisit perdagangan yang dialami negara Amerika Serikat.
Rencana ini merupakan respons atas tarif resiprokal sebesar 32% yang diberlakukan AS terhadap produk asal Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto “Tentu kita meningkatkan jumlah volume beli. Sehingga trade deficit yang US$ 18 miliar itu bisa dikurangi,” ucap Airlangga dalam konferensi pers di kantornya, Senin 7 April 2025.
Tarif resiprokal ini adalah tarif tambahan yang dikenakan Amerika Serikat kepada negara-negara yang mengalami surplus dagang dengan Amerika.
Sebaliknya Amerika mengalami defisit atas perdagangan dengan negara-negara tersebut. Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pemberlakuan reciprocal tariffs kepada sejumlah negara di dunia pada 2 April 2025.
Amerika tidak ingin kerja sama ekonomi yang merugikan bagi negaranya. Kebijakan tarif resiprokal ini, Amerika tidak ingin ada keuntungan yang dialami salah satu pihak saja, dengan begitu Amerika bisa sama-sama diuntungkan dengan adanya kebijakan ini.
Namun dengan istilah yang terdengar netral itu, ada relasi kuasa yang tidak seimbang. Amerika sebagai negara adidaya dengan kekuatan ekonomi yang besar, menggunakan kebijakan tarif resiprokal ini sebagai senjata untuk menekan negara-negara berkembang.
Dengan adanya tarif resiprokal ini, pemerintah Indonesia merespon dengan meningkatkan volume impor produk dari Amerika untuk memperkecil tarif resiprokal yang diberikan AS.
Produk yang ditingkatkan volume impornya merupakan produk pertanian, energi, dan manufaktur. Pada level negara, Indonesia harus memposisikan ekonomi-politiknya di tengah struktur sistem nasional yang semakin proteksionis, di era globalisasi dan perdagangan bebas, terutama setelah AS mulai menggunakan tekanan dagang sebagai alat diplomasi bilateral.
Amerika serikat yang menguasai pasar internasional, sering kali memiliki kuasa atas kesepakatan dan kerja sama antar negara, ditentukan dari perdagangan antara kedua negara.
Jika Amerika merasa diuntungkan dalam perdagangan dengan suatu negara, maka kerja sama antara kedua negara tersebut akan mudah. Sebaliknya Amerika akan bersikap tegas jika perdagangan antara kedua negara merugikan Amerika, maka kerja sama antara Amerika dengan negara terkait akan dihentikan atau membuat kesepakatan yang menguntungkan Amerika.
Langkah yang dilakukan Indonesia dengan meningkatkan jumlah impor dari Amerika merupakan suatu upaya untuk tetap bisa menjalin kerja sama yang baik dengan Amerika. Dalam sistem internasional yang kapitalis, negara dianggap sebagai aktor ekonomi layaknya sedang ada di dalam pasar.
Di sistem kapitalis global, yang paling kaya, yang mempunyai teknologi dan kontrol pasar, dialah yang memegang kendali.
Negara yang lebih kecil “dipaksa” untuk seirama dengan Amerika atau negara maju lainnya, jika tidak bisa, ditekan dan dipinggirkan oleh negara-negara maju.
Dalam hal ini negara berperan sebagai aktor adaptif terhadap perubahan dalam lingkungan global. Negara dalam upayanya untuk bertahan hidup dan mencapai tujuan nasionalnya, harus menyeimbangkan tekanan internal dan tuntutan eksternal.
Yang membuat Indonesia harus beradaptasi dengan keadaan internasional namun dengan mempertimbangkan tujuan nasional dan kestabilan negara.
Indonesia dalam Kacamata Marxis.
Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo yang memilih untuk meningkatkan impor dari Amerika Serikat guna menghindari ancaman tarif tinggi dapat dilihat sebagai bentuk reproduksi struktur kapitalisme global yang timpang.
Dalam pendekatan Marxisme dalam analisis hubungan internasional, tidak melihat negara sebagai aktor netral atau rasional seperti dalam sistem anarki realisme atau liberalisme, tetapi sebagai instrumen kelas dominan, baik ditingkat domestik maupun internasional.
Negara menjadi perpanjangan dari kepentingan kapitalis nasional maupun global yang saling terhubung dalam sistem ekonomi dunia.
Dalam pendekatan Marxisme dalam analisis hubungan internasional, membagi-bagi kelas berdasarkan ekonomi-politik sebuah negara. Pembagian kelas ini muncul akibat sistem kapitalis global, yang memunculkan hubungan yang tidak seimbang dan cenderung eksploitatif, yang menimbulkan ketergantungan antar negara.
Dalam teori sistem dunia, teori dari pemikir Neo-Marxisme Immanuel Wallerstein, sistem dunia membagi negara menjadi tiga kelompok, negara core, negara semi-periphery, dan negara periphery.
Negara core ini merupakan negara pusat yang menjadi pusat perdagangan, teknologi dan politik dunia, dilihat dari ekonomi-politik negara tersebut yang bisa dibilang maju secara ekonomi politik.
Negara semi-periphery, negara yang bisa memproduksi barangnya sendiri namun masih bergantung pada teknologi dan pasar dari negara core. Sedangkan negara periphery merupakan negara pinggiran, yang hanya bisa menjual bahan mentah saja.
Keputusan Indonesia untuk memperbesar impor dari Amerika Serikat bukanlah sekadar taktik dagang atau diplomasi ekonomi, melainkan cerminan dari posisi Indonesia dalam hierarki kapitalisme global. Sebagai negara semi-periphery dalam sistem ekonomi dunia, Indonesia berada dalam posisi rentan terhadap tekanan dari negara-negara pusat seperti Amerika Serikat, Ketika Amerika mengeluarkan kebijakan mengenai tarif resiprokal dan mengancam Indonesia akan mengenakan tarif 32% terhadap ekspor Indonesia, yang terjadi bukanlah negosiasi yang setara antar dua negara berdaulat, melainkan pemaksaan relasi ekonomi yang mencerminkan dominasi kapitalis global.
Indonesia harus membeli akses ke pasar AS dengan meningkatkan impor atas produk-produk Amerika.
Kebijakan ini memperlihatkan bagaimana negara berkembang dipaksa untuk tetap berada dalam posisi supply and demand yang diatur perhitungan kapital negara-negara pusat.
Kebijakan Indonesia dalam konteks ini tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan kapital domestik untuk tetap terintegrasi dalam jaringan modal global, investasi asing harus dijaga, akses pasar tidak boleh terganggu, dan stabilitas ekonomi makro menjadi prioritas untuk mempertahankan kepercayaan pasar.
Indonesia sebagai Pelayan Kapitalisme
Relasi dagang seperti ini memperlihatkan bentuk baru dari penindasan kelas, di mana negara berkembang tidak punya banyak pilihan selain tunduk pada logika pasar global. Perjanjian dagang, dan ancaman tarif hanyalah instrumen-instrumen kapital global untuk menjaga dominasi negara pusat.
Negara berkembang seperti Indonesia, meskipun berdaulat secara politik tetapi tetap dalam posisi tergantung secara ekonomi. Negara Indonesia, melalui birokrasi ekonomi dan perdagangan, bertindak sebagai representasi dari kepentingan kelas kapitalis nasional yang sangat terhubung dengan modal asing.
Kebijakan ini tidak lahir dari kepentingan rakyat atau produsen lokal, melainkan dari kebutuhan untuk menjaga relasi harmonis dengan pusat kapital global.
Dengan demikian, kebijakan luar negeri Indonesia yang terlihat teknokratis dan pragmatis sebenarnya adalah bentuk dari subordinasi struktural negara berkembang dalam sistem kapitalisme global.
Kebijakan luar negeri Indonesia sepenuhnya dipengaruhi oleh sistem global yang kapitalis. Mencerminkan posisi negara Indonesia sebagai negara periphery, yang masih bergantung pada negara core.
Pendekatan Marxis membantu melihat bahwa di balik diplomasi dan negosiasi dagang terdapat relasi kekuasaan ekonomi yang tidak setara dan eksploitatif, yang terus direproduksi melalui lembaga-lembaga internasional dan kebijakan ekonomi nasional yang bersandar pada kepentingan kapital, bukan rakyat.
Kebijakan luar negeri Indonesia menunjukkan kepatuhan terhadap sistem kapitalisme global. Sebagai negara berkembang Indonesia masih bergantung pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Kebijakan Indonesia untuk meningkatkan volume impor Amerika adalah bentuk kepatuhan pada sistem global yang kapitalis, yang mana mengelompokkan negara berdasarkan ekonomi-politiknya.
Kelompok negara yang lebih rendah posisinya, tidak ada pilihan selain patuh, dikarenakan masih bergantung kepada negara-negara maju yang posisi ekonomi-politiknya lebih di atas. Dengan kekuatan ekonomi yang besar, negara-negara maju seperti Amerika dapat mengontrol pasar internasional. (Penulis: Mochamad Akmal Fachreza)
REFERENSI:
Estherina. I. (2025, 7 April). Indonesia Bakal Tambah Volume Impor dari AS Imbas Pemberlakuan Tarif 32 Persen. Diakses 18 April 2025. https://www.tempo.co/ekonomi/indonesia-bakal-tambah-volume-impor-
Dugis. V. (2016). Teori Hubungan Internasional Perspektif-Perspektif Klasik. Surabaya: PT Revka Petra Media.