HUT ke-393 Kab. Tasik: Syukur dalam Seremoni, Rakyat dalam Ketimpangan

Mahasiswa Tasikmalaya Timur (MTT), Dina Diana Ginanjar | dokpri

Kabupaten, Wartatasik.comKabupaten Tasikmalaya resmi menginjak usia 393 tahun, usia yang tentu tidak lagi muda. Sebuah momentum yang seyogianya menjadi refleksi mendalam bagi seluruh elemen pemerintah dan masyarakat.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa peringatan hari jadi ini lebih cenderung dimaknai sebagai seremoni megah ketimbang perenungan bersama.

Di tengah krisis anggaran dan berbagai persoalan pembangunan yang belum terselesaikan, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tetap memilih menyelenggarakan perayaan milangkala dengan penuh gegap gempita. Acara ini menjadi sorotan publik, tak hanya karena kemeriahannya, tetapi juga karena kontrasnya dengan kondisi nyata yang masih dihadapi sebagian besar masyarakat.

Ironis memang, ketika panggung-panggung perayaan berdiri megah, namun di sisi lain, masih banyak jalan rusak yang belum diperbaiki, sekolah-sekolah yang nyaris roboh, anak-anak yang putus sekolah, serta minimarket ilegal yang menjamur tanpa pengawasan dan izin yang jelas.

Sementara itu, dana SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) terus membengkak setiap tahunnya tanpa kejelasan arah penggunaan yang pro-rakyat.

“Saya menyaksikan sendiri melalui media sosial, bagaimana Bupati Tasikmalaya bersama Gubernur Jawa Barat berdiri di atas mobil dalam sebuah pawai arak-arakan. Warga menyambut, mereka tersenyum, melambaikan tangan. Sebuah simbol keakraban antara pemimpin dan rakyatnya,” ujar Ketua Advokasi Mahasiswa Tasik Timur, Dina Diana Ginanjar, Minggu (27/7/2025).

“Namun di balik senyum itu, tidak bisa menutup mata bahwa banyak warga yang masih hidup dalam ketidakpastian sosial dan ekonomi,” tambahnya.

Pertanyaannya kemudian, lanjut Ia, apakah perayaan semacam ini benar-benar mencerminkan rasa syukur? Apakah cukup hanya dengan potong tumpeng dan doa bersama, “Kita mengklaim telah menjalankan tanggung jawab sebagai pengelola pemerintahan?” imbuhnya.

Lanjutnya, rasa syukur sejatinya bukan hanya tentang seremoni, melainkan tentang substansi. Rasa syukur itu mestinya ditunjukkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.

“Dalam upaya memperbaiki infrastruktur dasar, menciptakan sistem pendidikan yang adil dan merata, serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas anggaran daerah,” katanya.

Dikatakannya, ia tentu tidak anti terhadap perayaan. Tapi perayaan tanpa refleksi hanyalah bentuk kemewahan semu, kosmetik politik yang tidak menyentuh akar permasalahan.

“Jika biaya perayaan milangkala ini dialokasikan untuk memperbaiki 10 sekolah rusak, atau membuka akses jalan ke daerah terpencil, dampaknya akan jauh lebih dirasakan oleh rakyat,” katanya.

Peringatan milangkala ke-393 ini semestinya menjadi momentum evaluasi, terangnya lagi, sebuah pengingat bahwa usia bukan sekadar angka, tetapi tentang bagaimana pemerintah daerah mampu memperbaiki tata kelola dan menghadirkan keadilan sosial.

“Karena yang paling dibutuhkan rakyat bukan panggung hiburan, tetapi panggung keadilan. Kabupaten Tasikmalaya tidak hanya perlu dirayakan, tetapi juga perlu dibenahi,” tandasnya. Red

Berita Terkait