
Oleh:
Ghazian Zhafiri Rizqullah1, Deta Sari Mayang Wulan2, Aulia Lestari3, Aisha Nurrohmah4, Alya Rahmadania5, Apip Abdul Nazib6
Program studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Siliwangi
Abstrak
Perkembangan teknologi digital dan media sosial telah mempercepat penyebaran informasi sekaligus meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap penyebaran informasi yang menyesatkan. Fenomena ini mencakup hoaks, informasi yang menyesatkan, dan disinformasi, yang berbeda dalam niat, tujuan, dan dampaknya.
Hoaks biasanya disebarkan dengan niat tertentu untuk menyesatkan atau membentuk opini publik, informasi yang menyesatkan berasal dari kesalahan yang tidak disengaja, sedangkan disinformasi disebarkan secara sengaja untuk mengubah persepsi publik.
Tindakan pengguna dan budaya online semakin mendukung penyebaran informasi yang menyesatkan. Kecenderungan untuk membagikan konten tanpa memeriksa fakta, ditambah dengan literasi digital yang rendah dan algoritma media sosial yang memperkuat ruang gema, membuat pengelolaan informasi palsu menjadi lebih sulit.
Kondisi ini memiliki dampak yang signifikan di berbagai bidang. Di ranah sosial, informasi yang menyesatkan menyebabkan kebingungan dan merusak kepercayaan antarindividu. Di bidang politik, penyebarannya dapat mengancam stabilitas demokrasi dan memutarbalikkan persepsi publik. Meskipun demikian, dalam hal kesehatan, kesalahan informasi dapat menyebabkan keputusan yang berbahaya dan pengawasan publik yang lebih buruk.
Berpikir kritis dan literasi digital dapat dikembangkan dalam pendidikan, dan keluarga dapat membantu meningkatkan ketahanan terhadap informasi. Keluarga membangun nilai dan kebiasaan media yang tepat, dan pendidikan membantu meningkatkan pemikiran kritis dan literasi digital . Upaya bersama antara keduanya merupakan dasar penting untuk membangun ekosistem informasi yang sehat, cerdas, dan tidak terpengaruh oleh berita palsu.
Kata Kunci: Hoax, Misinformasi, Teknologi Informasi
Abstract
The development of digital technology and social media has accelerated the spread of information while increasing the vulnerability of society to the spread of misleading information. This phenomenon includes hoaxes, misleading information, and disinformation, which differ in intent, purpose, and impact. Hoaxes are usually spread with the specific intent to mislead or shape public opinion, misleading information stems from unintentional errors, while disinformation is deliberately spread to alter public perception. User behavior and online culture increasingly support the spread of misleading information. The tendency to share content without checking facts, coupled with low digital literacy and social media algorithms that reinforce echo chambers, makes managing false information more difficult. These conditions have a significant impact in various fields. In the social sphere, misleading information causes confusion and undermines trust between individuals. In the political sphere, its spread can threaten democratic stability and distort public perception. However, in the field of health, misinformation can lead to dangerous decisions and poorer public oversight. Critical thinking and digital literacy can be developed in education, and families can help improve resilience to misinformation. Families build appropriate media values and habits, and education helps improve critical thinking and digital literacy. Joint efforts between the two are an important foundation for building a healthy, intelligent information ecosystem that is not influenced by fake news.
Keyword: Hoax, Misinformation, Information Technology
- Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara masyarakat mengakses dan menyebarkan informasi. Media sosial menjadi ruang utama dalam pertukaran informasi yang berlangsung sangat cepat, melampaui batas geografis dan waktu. Kecepatan ini membawa manfaat besar dalam hal efisiensi komunikasi dan juga menimbulkan tantangan serius yang tidak bisa diabaikan.
Salah satu dampak negatif dari kemajuan ini adalah maraknya penyebaran hoax dan misinformasi. Istilah hoax kini sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia digunakan untuk menyebut berita palsu yang menyesatkan dalam kajian akademik, hoax sering dikaitkan dengan dua istilah penting yaitu misinformasi dan disinformasi.
Misinformasi adalah informasi yang salah namun disebarkan tanpa niat jahat, sedangkan disinformasi adalah informasi salah yang sengaja disebarkan untuk tujuan tertentu. Tujuan dari disinformasi bisa bermacam-macam, mulai dari kepentingan politik, ekonomi, hingga ideologis.
Hal ini menjadikan hoax bukan sekadar persoalan komunikasi tetapi juga menyangkut aspek sosial dan politik yang lebih luas. Hoax dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi, menciptakan ketegangan sosial, bahkan memicu konflik horizontal di tengah Masyarakat.
Di bidang hukum, penyebaran hoax juga menimbulkan dilema tersendiri. Penegakan hukum terhadap pelaku penyebaran hoax sering kali menghadapi tantangan dalam pembuktian dan pelacakan sumber informasi. Sementara itu, dari sisi ketahanan nasional, hoax bisa menjadi ancaman serius karena mampu menggoyahkan stabilitas sosial dan memengaruhi opini publik secara masif.
Dampak hoax juga terasa dalam bidang kesehatan, terutama saat masyarakat harus mengambil keputusan penting terkait pengobatan atau pencegahan penyakit. Informasi palsu yang tersebar luas dapat menyesatkan masyarakat dan menghambat upaya penanganan kesehatan secara efektif. Hal ini terbukti nyata dalam situasi pandemi di mana hoax mengenai vaksin dan protokol kesehatan menyebar dengan cepat.
Oleh karena itu, penelitian mengenai hoax dan misinformasi menjadi sangat penting. Penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk memahami pola penyebaran dan dampaknya, tetapi juga untuk merumuskan strategi penanggulangan yang efektif. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, media, dan masyarakat sipil diperlukan untuk membangun ekosistem informasi yang sehat dan bertanggung jawab.
Pendidikan literasi digital juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memilah informasi, mengenali sumber yang kredibel, serta memahami konsekuensi dari penyebaran informasi 1 palsu. Dengan begitu masyarakat dapat menjadi lebih tangguh dalam menghadapi arus informasi yang begitu deras di era digital ini
- Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Pendekatan kualitatif dipilih karena memungkinkan peneliti memahami fenomena secara mendalam, melihat makna yang dibangun oleh subjek penelitian, serta menangkap proses yang terjadi secara natural dalam konteks kehidupan nyata.
- Hasil Dan Pembahasan
- Konsep Hoax, Misinformasi, dan Disinformasi
Penyebaran informasi berlangsung dengan sangat cepat dan luas melalui berbagai platform media sosial serta situs berita daring. Kondisi ini mempermudah masyarakat dalam mengakses beragam informasi, namun di sisi lain juga menghadirkan tantangan baru berupa maraknya peredaran berita yang tidak sesuai dengan fakta. Fenomena ini melahirkan istilah hoax, misinformasi, dan disinformasi yang kini menjadi bagian dari persoalan sosial di tengah masyarakat. Ketiganya memiliki hubungan yang erat, tetapi berbeda dalam hal niat, tujuan, serta dampak yang ditimbulkan terhadap penerima informasi.
Hoax dapat dipahami sebagai informasi atau berita palsu yang sengaja dibuat dan disebarkan dengan tujuan menipu, menyesatkan, atau memengaruhi pandangan publik terhadap suatu isu tertentu. Biasanya hoax dikemas secara menarik dengan judul yang provokatif agar menimbulkan reaksi emosional dan dorongan bagi pembacanya untuk segera menyebarkan informasi tersebut tanpa verifikasi lebih lanjut.
Motif di balik pembuatan hoax beragam, mulai dari keinginan memperoleh perhatian, keuntungan ekonomi, hingga kepentingan politik. Penyebaran hoax yang masif di media sosial sering kali menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat karena sulit membedakan antara berita asli dan palsu.
Misinformasi merupakan penyebaran informasi yang salah atau tidak akurat tanpa adanya unsur kesengajaan untuk menipu. Individu yang menyebarkan misinformasi biasanya percaya bahwa informasi yang dibagikannya benar, padahal tidak demikian.
Rendahnya kemampuan literasi digital dan kebiasaan masyarakat yang cenderung membagikan informasi tanpa memastikan kebenarannya menjadi faktor utama munculnya misinformasi. Walaupun tidak disengaja, misinformasi tetap berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti kesalahpahaman, kepanikan, hingga terbentuknya opini publik yang keliru terhadap suatu peristiwa.
Disinformasi mengandung unsur kesengajaan dalam pembuatan dan penyebaran informasi yang salah. Tujuannya lebih terarah, biasanya untuk memanipulasi opini publik atau mendukung kepentingan tertentu, baik politik, ekonomi, maupun sosial. Disinformasi sering kali dilakukan secara sistematis dan dirancang agar tampak meyakinkan melalui data palsu, foto yang dimanipulasi, atau narasi yang disusun dengan cermat.
Dalam konteks ini, masyarakat perlu memiliki kemampuan berpikir kritis dan kebiasaan untuk memverifikasi sumber informasi sebelum mempercayai atau menyebarkannya. Pemahaman terhadap konsep hoax, 4 misinformasi, dan disinformasi menjadi penting agar individu dapat berperan aktif dalam menciptakan lingkungan informasi yang sehat dan dapat dipercaya.
- Peran Pengguna dan Budaya Digital dalam Penyebaran Informasi Palsu
Di era digital seperti sekarang hampir semua orang bisa menjadi penyebar informasi. Melalui media sosial, pesan singkat, dan berbagai platform lainnya, siapa pun dapat membagikan berita hanya dalam hitungan detik. Sayangnya, tidak semua pengguna memiliki kebiasaan untuk memeriksa kebenaran informasi sebelum menyebarkannya. Banyak yang hanya membaca judul tanpa memahami isi, lalu membagikannya karena merasa penting atau menarik. Hal ini membuat informasi palsu semakin mudah beredar dan sulit dikendalikan.
Peran pengguna dalam hal ini sangat besar, sebab perilaku sederhana seperti membagikan ulang berita tanpa verifikasi bisa memperkuat arus penyebaran hoaks. Kesadaran literasi digital, kemampuan berpikir kritis, serta tanggung jawab pribadi menjadi hal yang perlu ditanamkan agar pengguna dapat memilah mana informasi yang layak dibagikan dan mana yang perlu dihentikan.
Budaya digital yang berkembang di masyarakat juga ikut berpengaruh terhadap cepatnya penyebaran informasi palsu. Banyak orang terbiasa membagikan sesuatu hanya karena ingin terlihat aktif atau ingin menjadi yang pertama tahu, tanpa memikirkan dampaknya. Selain itu, algoritma media sosial yang menampilkan konten sesuai minat pengguna membuat seseorang cenderung terjebak dalam lingkaran pandangan yang sama.
Akibatnya, berita palsu mudah dipercaya karena terus muncul dan diperkuat oleh lingkungan digital yang sejalan. Situasi ini menunjukkan bahwa membangun budaya digital yang sehat tidak hanya soal kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga tentang etika, tanggung jawab, dan kesadaran bersama untuk menjaga ruang informasi tetap bersih dari berita palsu.
- Dampak Sosial, Politik, dan Kesehatan dari Informasi Palsu
Di zaman sekarang arus informasi menyebar sangat cepat melalui media sosial dan berbagai platform digital. Setiap orang bisa dengan mudah mengakses berita dan membagikannya tanpa batas waktu maupun tempat sehingga informasi beredar luas tanpa bisa dikendalikan. Namun kemudahan ini juga membawa dampak negatif karena tidak semua informasi yang beredar benar.
Banyak berita palsu yang dibuat dengan tujuan tertentu seperti mencari perhatian atau memengaruhi opini masyarakat. Akibatnya masyarakat sering kali sulit membedakan mana berita yang benar dan mana yang tidak. Hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai dampak dalam kehidupan sosial politik dan juga kesehatan.
Dalam kehidupan sosial penyebaran informasi palsu bisa menyebabkan kesalahpahaman dan memicu pertengkaran antarindividu. Banyak orang langsung 5 mempercayai berita tanpa memeriksa kebenarannya lalu menyebarkannya ke orang lain. Tindakan seperti ini membuat hubungan sosial menjadi renggang karena muncul rasa saling curiga dan menurunnya kepercayaan antaranggota masyarakat.
Selain itu media sosial yang seharusnya menjadi tempat untuk berbagi informasi malah sering berubah menjadi ajang perdebatan dan penyebaran kebencian. Oleh sebab itu informasi palsu memberi dampak sosial yang nyata karena dapat merusak keharmonisan dan solidaritas di tengah masyarakat.
Dalam bidang politik informasi palsu sering digunakan untuk kepentingan tertentu terutama menjelang pemilihan umum. Banyak pihak menyebarkan hoaks agar dapat membentuk opini publik dan menjatuhkan lawan politik. Akibatnya masyarakat menjadi bingung karena menerima begitu banyak berita yang tidak jelas sumbernya.
Hal ini membuat kepercayaan terhadap lembaga politik dan pemerintah semakin menurun sehingga kualitas demokrasi ikut terancam. Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada informasi resmi maka keputusan yang diambil pun tidak berdasarkan fakta melainkan opini yang salah.
Sedangkan di bidang kesehatan dampak dari informasi palsu bisa sangat berbahaya karena menyangkut keselamatan banyak orang. Ketika masyarakat mempercayai berita yang tidak benar tentang vaksin atau pengobatan maka mereka bisa salah mengambil keputusan. Contohnya saat pandemi banyak orang menolak vaksin karena termakan berita bohong tentang efek samping yang tidak terbukti.
Kondisi seperti ini memperburuk penanganan kesehatan dan membuat masyarakat semakin rentan terhadap penyakit. Oleh karena itu masyarakat perlu meningkatkan kemampuan untuk memilah dan memverifikasi setiap informasi agar tidak mudah terpengaruh oleh berita yang menyesatkan.
- Peran Pendidikan dan Keluarga dalam Membangun Ketahanan Informasi
Di era digital saat ini arus informasi datang dari berbagai arah dan terus bergerak tanpa henti. Masyarakat dengan mudah mendapatkan berita melalui ponsel dan media sosial yang bisa diakses kapan saja. Namun tidak semua informasi yang beredar dapat dipercaya karena banyak di antaranya tidak memiliki dasar fakta yang jelas.
Kondisi ini membuat kemampuan masyarakat dalam memilah informasi menjadi hal yang sangat penting agar tidak mudah terpengaruh oleh berita palsu. Di sinilah peran pendidikan dan keluarga menjadi bagian penting dalam membentuk ketahanan informasi sejak dini.
Pendidikan memiliki peran utama dalam menanamkan kemampuan berpikir kritis kepada generasi muda. Sekolah bukan hanya tempat untuk menimba ilmu tetapi juga ruang untuk melatih siswa agar mampu membedakan antara fakta dan opini. Melalui pembelajaran yang mendorong analisis dan diskusi siswa dapat belajar untuk tidak langsung percaya pada informasi yang diterima.
Guru dapat menanamkan nilai kejujuran tanggung jawab dan kesadaran digital agar peserta didik terbiasa memeriksa sumber informasi sebelum menyebarkannya. Dengan begitu pendidikan dapat menjadi benteng pertama dalam mencegah penyebaran hoaks dan membangun masyarakat yang memiliki literasi informasi yang baik.
Selain pendidikan keluarga juga memegang peran besar dalam membentuk ketahanan informasi. Keluarga adalah lingkungan pertama tempat seseorang belajar tentang nilai dan sikap dalam menyikapi sesuatu termasuk dalam menerima informasi. Orang tua dapat memberikan contoh bagaimana bersikap bijak saat menghadapi berita yang belum tentu benar serta mengajarkan anak untuk tidak langsung mempercayai sesuatu hanya karena ramai dibicarakan.
Dengan komunikasi yang terbuka antara anggota keluarga setiap informasi dapat didiskusikan bersama agar tidak menimbulkan salah paham. Jika pendidikan membentuk pemahaman rasional maka keluarga memperkuat nilai moral dan kebiasaan positif dalam bermedia. Keduanya saling melengkapi dalam membangun masyarakat yang tangguh terhadap arus informasi yang tidak menentu.
- Kesimpulan
Perkembangan teknologi informasi telah membawa kemudahan dalam mengakses dan menyebarkan informasi, namun juga menghadirkan tantangan serius berupa maraknya hoax dan misinformasi. Hoax merupakan informasi palsu yang sengaja dibuat untuk menipu, sedangkan misinformasi adalah informasi yang salah namun disebarkan tanpa niat jahat. Keduanya memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, politik, dan kesehatan masyarakat.
Mekanisme penyebaran hoax dan misinformasi sangat dipengaruhi oleh perilaku pengguna, algoritma media sosial, serta rendahnya literasi digital. Informasi palsu dapat menyebar dengan cepat dan sulit dikendalikan, terutama ketika masyarakat tidak terbiasa memverifikasi sumber informasi.
Dampaknya meliputi keretakan sosial, polarisasi politik, dan kesalahan dalam pengambilan keputusan kesehatan. Upaya menangkal hoax dan misinformasi harus dilakukan secara kolaboratif melalui pendidikan, keluarga, media, komunitas, dan teknologi. Literasi digital yang kuat, budaya reflektif, serta partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci dalam membangun ekosistem informasi yang sehat dan bertanggung jawab.

Daftar Pustaka
Afdhala, B., & Laksmi, L. (2021). Digital Literacy Coverage in Antaranews and Liputan6 Online Media Site. Palimpsest: Jurnal Ilmu Informasi dan Perpustakaan, 12(1), 12–27.
Edwards, L., Stoilova, M., Anstead, N., Fry, A., El-Halaby, G., & SM. (2021). Rapid Evidence Assessment on Online Misinformation and Media Literacy: Final Report for Ofcom.
Hidayah, N., Suryani, C., Safitri, P.N., Astuti, S.I., Wahid, A.A., Wiryadigda, P., dkk. (2020). Laporan Pemetaan Hoaks 2020.
Nisa, K. (2024). Peran literasi di era digital dalam menghadapi hoaks dan disinformasi di media sosial. Impressive: Journal of Education, 2(1), 1–12. https://doi.org/10.61502/ijoe.v2i1.75
Nurjanah, E., Rusmana, A., & Yanto, A. (2017). Hubungan Literasi Digital dengan Kualitas Penggunaan E-Resources. Lentera Pustaka, 3(2), 117.
Nurlatifah, M., & Irwansyah, I. (2019). Fact-Checking Journalism sebagai Platform Kolaborasi Human and Machine pada Jurnalisme Digital. Jurnal Komunikasi, 13(2), 121–134.
Sarasvati, P., & Siswadi, G. A. (2025). Peran literasi digital dalam memfilter informasi dan konten hoaks di media sosial. Pratyaksa: Jurnal Ilmu Pendidikan, Sosial dan Humaniora
Tsaniyah, N., & Juliana, K. A. (2019). Literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi.
