JPU Tuntut Terdakwa D 6 dan 8 Bulan Penjara, Penasehat Hukum: Pasal yang Diterapkan Kurang Pas

Penasehat Hukum terdakwa (D) Hendi Haryadi, S.H. | Suslia

Kota, Wartatasik.com – Persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Sidik S.H menuntut terhadap Terdakwa (D) dengan Tuntutan 6 bulan pidana dan 8 bulan masa percobaan dengan perkara kasus pidana yang melibatkan Pelapor Insial (W) dan terlapor (terdakwa) inisial (D) dengan pasal 167 KUHP.

Yakni, Barang siapa dengan melawan hak orang lain masuk dengan memaksa kedalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan yang di pakai oleh orang lain atau sedang ada disitu dengan tidak ada haknya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak, di hukum penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500

Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Sidik S.H menuntut terhadap Terdakwa (D) dengan Tuntutan 6 bulan pidana dan 8 bulan masa percobaan yang di gelar di Pengadilan Negeri (PN) Kota Tasikmalaya, pada hari kamis (27/7/2023).

Akhir pokok amar putusan menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindakan pidana 167 KUHP, Artinya pidananya 6 bulan dengan masa percobaan 8 bulan. Oleh karena itu, selama masa percobaan 8 bulan yang bersangkutan tidak boleh ada kejahatan-kejahatan lainnya dilakukan setelah perkara ini.

Selanjutnya, disinggung terkait dengan diduganya ada permasalahan dalam proses Restoratif Justice (RJ) Sidik pun mengatakan bahwa RJ sama dengan berdamai.

“Perdamaian suatu perkara itu sebetulnya tidak menghapus Pidana. Tapi, RJ merupakan kebijakan pemerintah yang di terima oleh masyarakat sehingga tidak ada polemik di masyarakat,” tuturnya.

Oleh karena itu, landasan awalnya, grand-nya itu bahwa perdamaian tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana seseorang. Tapi, bisa meringankan hukuman apa yang kita lakukan dengan hukuman percobaan.

Terkait RJ dalam proses persidangan inisial “D” itu sendiri, Sidik mengatakan bahwa “Terjadi penolakan dari pihak Kejaksaan Agung dengan alasan adanya keterlambatan saat pengajuan ke kejaksaan agung,” ucapnya.

Lanjut Sidik mengatakan bahwa alasan penolakan sendiri yang saya tahu dari surat itu memang keterlambatan. “Kalau tidak salah keterlambatan pengajuannya ke pihak Kejaksaan Agung,” ungkapnya.

Di tempat berbeda Penasehat Hukum terdakwa (D) Hendi Haryadi, S.H., menanggapi bahwa pasal 167 itu bahwa sebetulnya kurang pas. Namun ada yang lebih pas yaitu pasal 55 KUHP.

Yakni, 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Menurut analisanya, bahwa tuntutan yang diajukan oleh Kejaksaan itu kurang pas. Terkait masalah unsur pasal 167 pihaknya menuturkan bahwa pada intinya memaksa memasuki dan menempati tempat tersebut, sedangkan dalam fakta persidangan unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi dan tidak terbukti dalam proses persidangan.

“Harusnya kalau memang itu dimasukkan dalam suatu tindak pidana, dimasukkan lah pasal 55 KUHP, yaitu barangsiapa yang memerintah turut membantu atau menyuruh kalau misalkan 55 itu sedikitnya masuk pada unsur pidana,” ucap Hendi selaku PH dari terdakwa (D)

Terkait masalah RJ, dirinya menuturkan bahwa itu bukan sebagai penyelesaian pidana dan memang tidak menghilangkan pidana.

BACA JUGA: RJ D Ditolak, Berikut Penjelasan Kasi Pidum Kejari Kota Tasik 

“Contoh kalau misalkan kasus korupsi, narkoba, tapi dalam kasus (terdakwa inisial D) ini ancaman 9 bulan terus RJ nya itu juga udah melebihi batas waktu,” ucapnya.

Lanjut Hendi menuturkan bahwa pemberitahuan yang sesuai dengan undang-undang intern Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 mengatakan bahwa batas waktu itu 3 hari pemberitahuan diterima atau ditolak, “Sedangkan ini tidak ada pemberitahuan setelah 2 bulan baru masuk ke persidangan” tambahnya.

Dan terkait masalah analisa hukum yang disampaikan oleh Kejaksaan tentang RJ itu, dirinya menyebutkan memang secara pribadi tidak menyalahkan dan tidak juga membenarkan.

“Tapi, kalau kita bicara tentang analisa itu kan ada dua ada yang subjektif dan ada yang objektif. Menurut saya, ini kurang objektif dengan mengatakan bahwa setiap RJ itu menghilangkan ke pidana tapi ada juga yang adanya RJ bisa menghilangkan pidana,” pungkasnya. Sus

Berita Terkait