
Kota, Wartatasik.com – Rotasi dan mutasi pejabat hari ini kembali menjadi pemandangan rutin dalam siklus birokrasi kita. Setiap pergantian jabatan selalu dirayakan dengan ucapan selamat, foto formal, serta narasi manis yang tampak gagah di permukaan.
Namun setelah itu, kita kembali masuk ke ruang hampa: ruang di mana para pejabat sibuk beradaptasi dengan kursi barunya, tetapi lupa bahwa kursi itu bukan tempat duduk melainkan mandat perjuangan.
Menurut Ketua Cabang SAPMA PP Kota Tasikmalaya, Muamar Khadapi,S.Pd., pemerintah tidak boleh berhenti pada euforia penataan struktur. Pengisian jabatan adalah awal, bukan capaian.
“Setiap pejabat harus mengerti bahwa jabatan bukan sekadar rotasi, melainkan reposisi tanggung jawab. Masyarakat tidak menunggu pejabat nyaman, masyarakat menunggu pejabat bekerja,” ungkapnya, Selasa (18/11/2025).
Sayangnya, dalam pengalaman panjang birokrasi Indonesia, ada pola yang terus berulang: pemerintah lebih gemar menjalankan kegiatan yang disukai ketimbang menciptakan formulasi kebijakan yang berdampak langsung bagi rakyat.
“Ada pejabat yang rajin tampil di podium tetapi malas membuka data. Ada instansi yang aktif mengunggah brosur kegiatan tetapi pasif menyusun terobosan baru. Ini bukan hanya masalah kinerja ini masalah keberpihakan,” jelasnya.
Lanjut Khadapi, dalam perspektif akademik administrasi publik, kondisi ini disebut sebagai comfort zone governance, yakni penyelenggaraan pemerintahan yang berjalan dalam pola aman, tanpa keberanian mengguncang ketimpangan struktural.
“Padahal adagium hukum telah mengingatkan dengan tegas: Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi,” katanya.
Jika adagium ini dijadikan kompas, katanya lagi, maka pejabat yang hanya melakukan kegiatan favorit bukanlah pelayan publik, melainkan penikmat fasilitas negara.
Regulasi pun jelas. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa setiap pejabat wajib menjalankan asas-asas pemerintahan yang baik (good governance): efektivitas, efisiensi, responsivitas, dan akuntabilitas. “Responsif, berarti hadir pada kebutuhan rakyat, bukan hadir pada acara seremonial yang menyenangkan ego jabatan,” terangnya.
Rotasi mutasi seharusnya menjadi momentum revolusioner, bukan agenda birokratis biasa. Dalam teori perubahan kelembagaan, setiap reposisi pejabat adalah peluang untuk menghancurkan kebiasaan lama yang tidak produktif.
“Ini selaras dengan pandangan Paulo Freire bahwa pembebasan hanya lahir ketika seseorang berani merombak struktur yang menindas bahkan ketika struktur itu adalah dirinya sendiri,” imbuhnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, pejabat yang baru dilantik harus berani bertanya dengan jujur, “Apakah saya siap menciptakan kebijakan baru, atau hanya mengulang pola lama? Apakah saya siap bekerja untuk rakyat, bukan untuk kenyamanan pribadi? Apakah saya siap membuat keputusan yang tidak populer, tetapi dibutuhkan?” jelasnya.
Jika jawabannya tidak, maka rotasi mutasi hari ini hanyalah rotasi lingkaran stagnasi. Tidak ada perubahan, hanya pergeseran tempat duduk.
“Pemerintah harus mempraktikkan keberanian struktural. Berani mengganti pola, berani menolak zona nyaman, berani menyentuh sektor yang selama ini dihindari, dan berani menembus batas tradisi “tugas rutinitas”. Karena negara tidak dibangun oleh rutinitas negara dibangun oleh terobosan,” ungkapnya.
Dan terobosan tidak pernah lahir dari pejabat yang sibuk menikmati jabatan barunya. Ingatlah, kesejahteraan rakyat bukan opsi kebijakan melainkan kewajiban konstitusional. Rotasi mutasi telah terjadi.
“Sekarang saatnya para pejabat membuktikan bahwa mereka bukan hanya pindah meja, tetapi pindah kesadaran. Karena di atas segala-galanya, sejarah hanya mencatat mereka yang bergerak—bukan mereka yang bersembunyi di balik seremonial birokrasi. Revolusi pemerintahan dimulai dari keberanian pejabat untuk melawan dirinya sendiri,” tandasnya. Red
