Polemik Retribusi Parkir, Nanang: Pemkot Minim Tenaga Ahli

Nanang Nurjamil | Dokpri

Kota, Wartatasik.com – Menata perparkiran tepi jalan umum bukan hanya soal regulasi, tapi juga soal sistim manajemen pelayanan publik.

Statement tersebut diutarakan pemerhati kebijakan Tasikmalaya Nanang Nurjamil saat menanggapi polemik terkait kenaikan tarif retribusi parkir di Kota Tasikmalaya, Selasa (07/01/2020).

Nanang mengaku heran, pasalnya Pemkot dan DPRD hampir tidak pernah melakukan pembahasan untuk merumuskan hal tersebut.

Padahal kata ia, ada banyak sistim manajemen perparkiran yg bisa menjadi alternatif untuk diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi serya potensi yang ada di kota Tasikmalaya.

“Pakir itu bukan hanya soal tarif tapi juga soal pelayanan, soal ketersediaan sarana dan prasarana, bagaimana membuat konsumen merasa aman dan nyaman mendapatkan pelayanan jasa parkir,” ungkapnya.

Lantaran itu, dianggap wajar jika kemudian banyak warga masyarakat yang menolak kebijakan Wali Kota untuk menaikkan tarif tetribusi parkir yang terkesan tergesa-gesa.

Padahal terangnya, sudah jelas ada regulasi sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam PERDA Kota Tasikmalaya, nomor 8 Tahun 2017, Tentang : Perubahan atas Perda  Kota Tasikmalaya, Nomor 5 Tahun 2011, tentang : Retribusi Jasa Umum.

Serta ada Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang bisa menjadi pedoman dasar aturan pemerintah untuk memberikan keamanan dan kenyamanan kepada masyarakat pengguna jasa layanan parkir.

Menurut Nanang, di Pemkot itu sangat minim tenaga ahli yang mumpuni, sehingga kebijakan publik itu seringkali tidak dilakukan kajian secara komprehensif terlebih dahulu.

Ia mencontohkan kebijakan menaikan tarif retribusi parkir yang baru saja seminggu perwalkotnya no.51 tahun 2019 tentang kenaikan tarif retribusi parkir diberlakukan kini sudah dirubah kembali karena adanya reaksi penolakan dari masyarakat.

“Kalau kedepan begini terus kredibilitas dan kompetensi pemerintah akan dipertanyakan masyarakat,” tegasnya.

Terkait polemik ini, Nanang mengusulkan, untuk membuat studi potensi parkir untuk mengetahui secara maksimal dan pasti berapa titik lokasi parkir sebenarnya ada (eksisting) yang sudah digunakan dan berada lokasi titik parkir yg bisa dimanfaatkan.

Selain itu, rumuskan sistim manajemen parkirnya dengan berbagai metode dan sistim yang paling “feasible” (layak) untuk diterapak. Juga adakan pelatihan kepada para Jukir tentang bagaimana seharusnya menjadi jukir yang baik dalam memberikan pelayanan memuaskan kepada konsumen (consumer satisfaction),

Nanang juga menyebut buat Perda tentang pengelolaan perparkiran yang tidak hanya mengatur soal tarif retribusi, tetapi juga secara holistik (menyeluruh) diatur didalam perda agar memiliki dasar hukum jelas dan pasti.

“Tingkatkan kesejahteraan dan keselamatan para jukir melalui  asuransi kesehatan dan keselematan serta pemberian insentif secara proporsional, agar para jukir bisa bekerja secara maksimal karena perparkiran itu esensinya adalah layanan jasa,” paparnya.

Nanang mengajak semua pemangku kebijakan untuk duduk bersama merumuskan tatakelola perparkiran ini yang lebih baik, karena kuncinya pemkot dan DPRD harus proaktif untuk mejalin sinergitas dan komunikasi dengan masyarakat.

Pasalnya, jika kenaikan tarif dipaksakan tanpa diikuti oleh perbaikan kualitas pelayanan secara poprional, maka itu namanya bukan kebijakan melainkan arogansi kekuasaan.

“Kalau meningkatkan PAD dengan cara membebani masyarakat itu namanya bukan strategi inovatif, tapi bisa jadi miskin ide/gagasan. Jadi perbaiki dulu sarana dan prasarana serta kualitas layanannya baru kemudian tarifnya disesuaikan,” tandasnya. Asron.

Berita Terkait