SETUMPUL PALU, SETAJAM PISAU

Fatna Yustianti – Alumni UPI Bandung/UNJ | dokpri

Referensi – Pisau dan palu adalah dua alat yang berbeda dan bertolak belakang, pisau bersifat tajam sedangkan palu bersifat tumpul. Namun keduanya sama-sama memiliki fungsi yang luar biasa. Pisau sebagai benda tajam favorit ibu-ibu dan para ahli memasak, umumnya dipakai untuk memotong/mengiris, dari mulai memotong buah-buahan, sayur-sayuran, dan lain-lain. Cukup dengan menekan sisi yang tajamnya ke benda yang ingin kita potong, terbentuklah potongan-potongan yang sesuai dengan keinginan kita. Dengan pisau juga lah, kita bisa membuat garnish sebagai hiasan untuk mempercantik hidangan.

Lain halnya dengan palu, dengan berbekal ketumpulannya, benda yang satu ini sangat diperlukan untuk menancapkan paku, menempa logam, menumbuk atau menghancurkan suatu objek. Seperti halnya pisau, palu pun menjadi perkakas yang selalu ada di rumah dan menjadi favorit kaum bapak, juga menjadi alat penting bagi para mekanik atau pertukangan untuk membantu meringankan pekerjaan.

Kedua benda ini jelas memiliki fungsi yang berbeda dengan spesialisasinya masing-masing, juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak bisa saling mengantikan, namun bisa saling melengkapi. Pisau yang tajam tidak bisa digunakan untuk menempa logam, juga tidak bisa kita pakai untuk menumbuk benda agar tertancap dengan kuat, tetapi pisau mampu menyelesainya masalah para ibu-ibu atau juru masak dalam hal memotong/mengiris. Sebaliknya, palu yang tumpul tidak bisa digunakan untuk memotong/mengiris, namun palu bisa menyelesaikan kerumitan para bapak-bapak dalam urusan mekanik/pertukangan.

Keduanya, pisau dan palu,  memiliki waktu dan kondisi yang berbeda kapan ia harus menyuguhkan kemampuannya. Ketika satu kondisi memerlukan ketajaman sebuah pisau, maka saat itulah pisau tampil membawa kemampuannya, dan melakukan tugasnya untuk memotong dengan sempurna dan hasilnya luar biasa. Begitu pun sebaliknya dengan palu, ketika ada satu kerumitan yang harus diatasi dengan sebuah alat pemukul yang mumpuni, maka disitulah palu dengan percaya diri menyuguhkan kekuatannya.

Kehidupan ini layaknya setumpul palu dan setajam pisau

Seperti halnya palu dan pisau, yang memiliki kemampuan masing-masing, begitupun dengan manusia. Manusia diciptakan dengan dilengkapi dengan kemampuan (kelebihan) yang berbeda-beda. Kelebihannya bisa dalam hal logika, linguistik, musikal, kinestetik (jasmani), dan lain sebagainya, dimana semua ini bermuara pada bakat atau minat yang melakat pada tiap-tiap manusia. Tidak ada seorang manusia yang serba mampu, sama sekali tidak ada. Seorang yang berprofesi dokter, ia belum tentu memiliki kemampuan menjadi seorang petani, begitu pun sebaliknya. Namun keduanya jelas saling membutuhkan. Saat petani sakit, dokterlah yang ia cari, dan dokter pun memerlukan beras untuk makan sehari-hari, maka petanilah yang berjasa atas pemenuhan kebutuhannya. Begitupun dengan politisi dan tukang bakso, keduanya sama-sama ahli pada bidangnya. Apa jadinya negara tanpa politisi, dan apa jadinya jika dunia kuliner tanpa bakso, mungkin semuanya menjadi hambar. Dengan adanya perbedaan kemampuan yang dimiliki masing-masing orang ini diharapkan agar semua manusia dimuka bumi ini saling berinterksi dan membantu, tidak saling meremehkan satu profesi dengan profesi lainnya.

Apapun jenis profesi kita, berbanggalah, tidak perlu berkecil hati, karena sejatinya kita semua dimuka bumi ini dicipta untuk menjadi berguna dan saling memberi manfaat. Juga tidak perlu sombong diri, karena kamampuan itu pada suatu kondisi tidak menjadi apa-apa, bahkan tidak dibutuhkan sama sekali. Contohnya, profesi guru sama sekali tidak dibutuhkan para pekerjaan membangunan jalan raya, yang dibutuhkan hanya mereka yang mempunyai kemampuan dalam hal bangunan/kontruksi/arsitektur, namun guru sangat dibutuhkan oleh sekolah atau lembaga pendidikan.

Semua inilah yang dimaksud dengan keharmonian kehidupan yang tercipta dari aneka kemampuan. Kemampuan yang dilimpahkan Tuhan pada tiap-tiap manusia adalah untuk saling menyuguhkan warna, bukan untuk saling menenggelamkan warna. Dunia menjadi semarak, indah adalah karena adanya aneka rupa warna. Tak perlu rasanya manusia saling berbantah-bantahan meninggikan ego karena merasa berkemampuan tinggi, karena sejatinya kehidupan ini adalah untuk diisi dengan saling berinteraksi, membantu, menghargai, bertukar pikir dan bahu. Kehidupan ini tidak semata untuk diri sendiri, tetapi untuk mengabdi, berbagi, dan saling memberi arti. Penulis: Fatna yustianti (Penyuka dunia pendidikan)

 

Berita Terkait