Bangun Kesadaran Masyarakat, Ayo Saatnya Makan Ikan

Yuli Andriani : Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran | Ist

Bandung, Wartatasik.com -Melambungnya harga daging sapi di tanah air saat ini menjadi fenomena yang berulang setiap tahun. Pada beberapa waktu khusus, seperti menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran, yang identik dengan makanan olahan daging sapi, mahalnya daging sapi seringkali membuat resah masyarakat.

Dalam PR (27/01/2021), tulisan Pak Rochadi Tawaf kembali menginformasikan tentang krisis daging sapi yang (lagi-lagi) terjadi. Di pasaran, harga daging sapi di Bandung mencapai harga 130 ribu rupiah per kilogram, hal ini semakin jauh dari kemampuan dan daya beli masyarakat, terlebih saat pandemi.

Masyarakat seringkali mengalihkan pemenuhan proteinnya dengan beramai-ramai mengkonsumsi daging ayam. Lagi-lagi dengan berbagai pembatasan akibat pandemi dan permintaan yang tinggi, harga ayam sedikit demi sedikit merangkak naik dari hingga mencapai 31 ribu per ekor.

Sungguh suatu kenyataan yang kontraproduktif dengan tujuan pemerintah kita mencerdaskan bangsa dengan meningkatkan asupan protein hewani sebagai salah satu upaya yang bisa dilakukan.

Momen untuk makan ikan Fenomena krisis daging sapi sebenarnya bukan kiamat bagi penyediaan protein hewani. Kejadian ini seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai titik tolak untuk merubah pola pikir “meat minded” menjadi “fish minded”.

Ajakan terhadap perubahan cara pikir ini sudah nampak pada saat rapat Kabinet, dimana Presiden Jokowi menghimbau rakyat Indonesia untuk beralih makan ikan untuk mengganti daging sapi yang mahal harganya.

Konsumsi protein hewani tidak dapat dipungkiri memiliki korelasi terhadap status kesehatan, terutama dalam hal kualitas sumber daya manusia.

Kandungan dalam protein hewani tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh sumber protein non-hewani, misalnya protein dari kedelai, karena komposisi asam amino yang paling lengkap hanya terdapat pada protein hewani.

Sehingga setiap orang idealnya mempertahankan asupan protein hewani dalam konsumsi makanannya. Menurut Helgilibrary (2013) lima besar negara dengan tingkat konsumsi ikan tertinggi ditempati oleh Maldives (166 kg/kapita/tahun), Islandia (90,1 kg/kapita/tahun), Hongkong (71 kg/kapita/tahun), Malaysia (58,8 kg/kapita/tahun) dan Macao (58,4 kg/kapita/tahun).

Sementara angka konsumsi ikan Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan Negara ASEAN dimana Indonesia menduduki peringkat ke 6 dari 8 negara (Yee et al. 2017).

Menilik sumberdaya alam yang kita miliki, perikanan darat dan laut Indonesia memiliki kemampuan yang besar untuk menyediakan ikan sebagai protein hewani, tidak kalah dibandingkan dengan kemampuan menyediakan daging sapi dan ayam.

Berdasarkan data FAO (2016), Indonesia berada di posisi kedua setelah Cina sebagai produsen perikanan terbesar di dunia. Produksi dari perikanan tawar mencapai 2.857.000 ton sementara perikanan laut mencapai 782.000 ton.

Selain kuantitas yang memadai, protein ikan memiliki keunggulan dibandingkan daging sapi, karena tidak mengandung kolesterol yang membahayakan kesehatan jantung, serta baik bagi perkembangan otak bayi dan balita.

Berbeda dengan daging sapi dan ayam yang tidak memiliki keragaman harga, penyediaan protein dari ikan dapat melayani semua golongan ekonomi masyarakat karena memiliki kisaran harga yang tinggi.

Beberapa jenis ikan laut seperti ikan kerapu bebek, ikan napoleon dan salmon bernilai ekonomis tinggi, sehingga lebih banyak ditemui di restaurant besar dengan harga ratusan ribu per porsi.

Namun tidak sedikit ikan-ikan yang bisa dibeli dengan kisaran harga Rp 18.000-Rp 33.000/kg, seperti ikan nila, lele, tongkol, kembung, lemuru, dan lain-lain, yang dapat dijadikan sumber protein yang baik bagi keluarga.

Kisaran harga ikan masih lebih murah dibandingkan harga daging sapi dan ayam. Variasi harga inilah yang selanjutnya diharapkan mampu menjembatani pemenuhan protein hewani pada semua kalangan masyarakat.

Membangun Kesadaran Makan Ikan bukanlah hal yang mudah untuk merubah pola konsumsi masyarakat Indonesia yang terbiasa mengkonsumsi protein non-ikan. Seperti pelari dalam kejuaraan atletik, kampanye gemar makan ikan kalah ‘start’ dibandingkan dengan daging ayam atau sapi.

Masyarakat terlanjur sangat akrab dengan olahan ayam dengan label franchise dari negara Paman Sam, yang gerainya dapat ditemui dengan mudah di berbagai tempat dengan harga bersaing. Bahkan kuliner olahan daging sapi seperti steak, burger ataupun hotdog telah mewabah dan menjadi trend dan gaya hidup di kalangan remaja Indonesia.

Pemerintah memiliki program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi ikan, seperti Gerakan Gemar Makan Ikan, yang mulai digalakkan pada era Presiden Megawati tahun 2014.

Hal ini terlihat dampaknya pada peningkatan konsumsi ikan nasional yang bergerak naik. Angka konsumsi ikan pada tahun 2019, mencapai sebesar 55,95 kg/kapita/tahun. Nilai ini diatas target yang besarnya 54,49 Kg/kapita/tahun. Target konsumsi ikan masih terus ditingkatkan menjadi 62,50 kg/kapita/tahun ditahun 2024.

Tetapi gerakan ini tidak secara permanen meningkatkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan. Kampanye makan ikan selama ini terkesan hanya kegiatan sesaat yang tidak mengarah pada pembangunan pola pikir yang idealnya dilakukan secara kontinyu. Juga harus ditindaklanjuti dengan program lain sebagai support system dalam pelaksanaannya agar tidak menjadi program sesaat saja.

Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah untuk lebih gencar mengkampanyekan program gemar makan ikan. Upaya itu dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti : 1) Memperkuat sektor industri kecil menengah pada unit usaha pengolahan produk perikanan, sehingga mampu membangun brand image produk perikanan sebagai makanan nasional yang diterima di semua kalangan.

Lalu kedua, kerjasama lintas sektor untuk meningkatkan kesadaran makan ikan sejak dini dengan kementrian pendidikan dan kesehatan, sehingga kebiasaan gemar makan ikan dapat diperkenalkan melalui penyuluhan dan materi pendidikan di sekolah.

Upaya menggalakkan makanan olahan ikan pada saat harga daging sapi semakin tidak terjangkau sebenarnya tidak hanya meningkatkan status gizi masyarakat saja, ataupun hanya dalam rangka mensubtitusi mahalnya daging sapi, melainkan lebih jauh akan menjadi momentum untuk membangun ekonomi petani dan pembudidaya ikan di negara kita, yang masih tertinggal jauh dibandingkan dengan peternak sapi dan unggas. Mari saatnya kita makan ikan.

Penulis : Yuli Andriani

Departemen Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.

Berita Terkait