Kadisporabudpar tidak Hadir dalam Pembahasan Perda, Tatang: Sialan, Terasing di Rumah Sendiri

Budayawan Tasikmalaya Tatang Pahat | dokpri

Kota, Wartatasik.comMaju dan mundurnya suatu kebudayaan harus diperjuangkan oleh elit, sebab eksistensinya butuh regulasi dan payung hukum yang mendukung, juga undang-undang yang lebih memproduktifkan dan melindungi.

Tak bisa dipungkiri kebijakan-kebijakan ini harus didorong oleh pemerintah dalam hal ini wali kota melalui dinas terkait. Dalam pertemuan kemarin dengan Komisi 4 DPRD Kota Tasikmalaya terkait mempertanyakan perihal Perda kebudayaan, kelihatannya tidak ada niat balik dari pemerintah dibuktikan dengan tidak hadirnya dinas terkait dalam hal ini DISPORABUDPAR yang dinahkodai Hadian.

Tatang Pahat sebagai pengamat dan pelaku seni/budaya Tasikmalaya angkat bicara, sepatutnya dinas ini memahami dengan seksama, jika aturan dan perundang undangan budaya di terbitkan, maka kekuatan budaya bisa menjangkau lebih banyak spirit dalam masyarakat karena ditopang oleh kebijakan pemerintah.

“Jika kebijakan diatas, tidak dipahami secara kafah oleh pemerintah, maka suatu keniscayaan semangat seniman tetap saja menjadi aktifis ekslusif. Intinya harus ada pemahaman menyeluruh diantara seniman dan pemerintah!,” ucap Tatang, Kamis (11/03/2021).

Katanya lagi, bicara kesenian malah terlalu kecil. sebab kesenian hanya sebuah unsur dari kebudayaan. Maka bila kehidupan kesenian mengalami kendala dalam persentuhannya dengan masyarakat berarti rumah besar “Kebudayaan” tidak sehat.

“Dengan kata lain budaya tidak sehat alias sialan. Jika prilaku berbudaya diperlakukan baik, distabilkan dan disehatkan oleh ibu bapak angkatnya (pemerintah) Disporabudpar, maka otomatos produktifitas atau nilai keseniannya juga akan baik, karena lahir dari rumah besar yang kuat,” ujarnya.

“Kalaupun ada politisi atau birokrat yang menyukai kesenian itu bukan kunci tapi kepentingan, justru sebagai gerbang pembuka dan atau pijakan buat keberlangsungan senindan budaya. Sebab fungsi politisi dan birokrat harus lebih besar pada bagian pembuatan payung hukum dan regulasi. Biasanya politisi dan birokrasi hanya sekedar hobi saja. Tapi biasanya dari hobi akan melahirkan pemikiran yang ekspansif,” imbuh Tatang.

Dari pertemuan kemarin antara pelaku budaya dengan pemerintah, tambah Tatang, kelihatannya wakil pemerintah dalam hal ini Disporabudpar Kota Tasikmalaya sepertinya tidak ada niat baik, dengan ketidakhadiran dalam pertemuan itu. Inilah yang menjadi soal!

Klik berita terkait:

Bahas Perda Kebudayaan, Ketua DKKT Kecewa Tak Dihadiri Pihak Kompeten

“Kadang-kadang lebih celaka kalau Disporabudpar punya pengetahuan terlalu banyak. Terus terang saya ragu kepada orang mengagung-agungkan dan menepuk dada seakan perhelatan seni budaya yang ada di Kota Tasikmalaya berkat pemerintah (disporabudpar), tidak menjadi pelajaran tempo hari dengan para pemilik kafe,” katanya.

“Jauh panggang dari api ketika berbicara tentang kebudayaan selalu mengagungkan kesucian dewi estetika dan hati nurani, seolah-olah sebagai pengemban kebenaran. Tapi dalam tingkah laku dan pemikirannya suntal sana sentil sini, lebih jahat ketimbang pembunuh tentu itu akibat dari kepintarannya, mungkin?,”  sindir Tatang

Ia menegaskan, jika menunggu kesadaran mungkin akan terlalu lama bahkan mungkin nihil, sebab poros keseimbangan budaya telah diserang dari berbagai kepentingan.

“Salah satu solusinya dengan jalan mosi ketidakpercayaan tehadap pemerintah (disporabudpar) termasuk kepada politisi politisi yang menjadi wakil masyarakat (budaya) sebagai penguasa tertinggi rakyat bisa memaksa mereka menaati formulasi atau kebijakan yangg diambil dari kecocokan terhadap karakter masyarakatnya. Namun mencari sosok birokrat dan politisi yang mengerti akan pentingnya Budaya juga bukan main susahnya,” tandasnya. Suslia

Berita Terkait