Mengenal Budidaya Ikan Sistem Bioflok

Yuli Andriani (Staf Pengajar Departemen Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran) | dokpri

Referensi – Budidaya ikan merupakan salah satu kegiatan yang dapat dijadikan sumber pencarian tambahan bagi masyarakat di perkotaan.  Beberapa daerah di Jawa Barat, seperti daerah Ciganitri di kota Bandung, beberapa wilayah di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat,  Tasikmalaya, Majalaya dan sekitar Ciamis, pernah tercatat sebagai daerah perikanan yang produktif.

Namun demikian menurunnya kualitas dan kuantitas air, serta alih fungsi lahan mengakibatkan banyak usaha perikanan semakin lesu. Terutama di daerah perkotaan, kegiatan perikanan air tawar signifikan berkurang dan mengalami penurunan produksi akibat lahan yang terbatas dan sumber air yang tercemar limbah industri.

Budidaya ikan di perkotaan seharusnya menggunakan sistem budidaya yang minim penggunaan lahan dan air, misalnya dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah dengan wadah non permanen (backyard hatchery). Penggunaan bioflok sebagai media budidaya ikan adalah teknologi yang sesuai untuk budidaya ikan di lahan sempit dan air yang terbatas.

Prinsip bioflok adalah penerapan kumpulan mikroorganisma air yang mampu berperan sebagai pengganti pakan ikan/udang, yang sekaligus berfungsi mempertahankan kualitas air, bahkan sebagai obat untuk serangan penyakit bakteri. Prinsip dasar pembentukan bioflok adalah mengubah senyawa organik dan anorganik menjadi massa sludge berupa bioflok dengan menggunakan bakteri pembentuk flok (flocs forming bacteria) yang mensintesis biopolimer polihidroksi alkanoat sebagai ikatan bioflok (Gambar 1).

Bioflok yang terbentuk dalam  badan perairan tadi dapat dimanfaatkan oleh spesies lain sebagai pakan tambahan dan berfungsi sebagai pemurni (purifikasi) air dikolam dengan fungsinya sebagai pengoksidasi bahan organik, melangsungkan nitrifikasi, dan pembatas pertumbuhan plankton. Secara umum, bahan organik dalam air dioksidasi secara aerob oleh bakteri pembentuk bioflok menjadi gas CO2 dan H2O serta residu berupa massa sludge (flok) sesuai dengan nilai konversi dari senyawa organik tersebut.

Keuntungan secara ekologis, yaitu penggunaan air sebagai media pemeliharaan dapat hemat, cukup dua bulan sekali  penggantian airnya. Begitu pula substrat dasar tambak yang jauh lebih “bersih” dibandingkan tambak tanpa aplikasi bioflok. Keuntungan dari sisi finansial pada tambak yang mengaplikasikan bioflok adalah memungkinkan diterapkannya kepadatan tinggi diatas 500-2500 ekor/m dengan FCR nya sampai 0,7.

Gambar 1. Morfologi flok di bawah mikroskop (A) flokulasi partikel bioflok dengan alga dan bakteri berfilamen (B) flokulasi bioflok dengan nematoda (Sumber : Muthusamy et al, 2015)

Selain itu biaya penyediaan pakan akan lebih rendah sekitar 40% karena pada sistem ini kandungan protein yang merupakan bahan pakan yang termahal, tidak menjadi prioritas. Pakan untuk budidaya sistem bioflok lebih diutamakan memiliki komposisi yang lengkap dan memiliki rasio C/N (sekitar 15%).

Karena itu, teknologi bioflok mampu memangkas biaya produksi lele hanya 6-7 ribu/kg, sementara dengan metode konvensional  10 ribu/kg, sehingga mampu mendongkrak keuntungan pembudidaya ikan.

Penguatan dari pemerintah untuk pengembangan budidaya system bioflok telah diberikan, salah satunya melalui Kementrian BUMN yang telah memberikan bantuan untuk menunjang perekonomian pesantren dan nelayan pantura dengan untuk pada budidaya lele sistem bioflok di  100 desa.

Kegiatan ini diproyeksikan sebagai kegiatan backyard saat nelayan tidak melaut. Diharapkan luaran kegiatan tersebut selain secara ekonomis  mendukung program industrialisasi perikanan, meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan, sekaligus menyediakan sumber protein hewani yang murah bagi masyarakat.**

Oleh: Yuli Andriani
Staf Pengajar Departemen Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran

Berita Terkait