Sikap Fraksi di DPR soal Revisi UU Pemilu, antara Pilkada 2022 atau Serentak 2024

Sikap Fraksi di DPR soal Revisi UU Pemilu, antara Pilkada 2022 atau Serentak 2024 | Net

Jakarta, Wartatasik.com – Draf sementara revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) menjadi sorotan dalam beberapa hari terakhir. Salah satunya mengenai ketentuan pelaksanaan pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak.

Sembilan Fraksi di DPR terbelah dengan ketentuan baru dalam draf UU Pemilu tersebut. Sebagian fraksi ingin melaksanakan Pilkada sesuai amanat Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, yakni Pilkada serentak digelar November 2024.

Sementara, sebagian fraksi lainnya mendorong pelaksanaan Pilkada sesuai ketentuan di dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 ayat (2) dan (3), yakni pada 2022 dan 2023.

Lantas, bagaimana peta sikap partai politik di DPR terkait jadwal Pilkada?

PAN dan PPP

PPP dan PAN secara tegas menolak pembahasan RUU Pemilu secara keseluruhan.

Ketua Umum PAN Zulfkifli Hasan berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini masih sangat baru, yaitu secara formal diterapkan dalam kurun waktu 4 sampai 5 tahun.

Oleh karenanya, ia menilai revisi UU Pemilu belum perlu dilakukan. Meski demikian, beleid tersebut cukup disempurnakan melalui aturan turunan.

“Sejauh ini penyelenggaraan pemilu yang dilakukan dengan payung hukum UU ini berjalan cukup baik. Meskipun tentu ada hal-hal yang perlu disempurnakan di dalam aturan turunannya,” kata Zulkifli dalam keterangan tertulis, Senin (25/01/2021).

Sementara itu, Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa menilai, perubahan UU Pemilu yang relatif cepat akan membuat tidak ada waktu untuk mematangkan demokrasi.

Ia juga menilai, isu-isu krusial yang terdapat di dalam RUU Pemilu seperti ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden masih relevan untuk kembali diterapkan.

“Tergerus dengan perubahan Undang-Undang Pemilu. Diperlukan kemantapan demokrasi prosedural agar demokrasi substansial memperoleh kesempatan berkinerja,” ujar Suharso, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (27/01/2021).

PDI-P, PKB dan Gerindra

Tiga partai politik papan atas di parlemen yakni PDI-P, PKB dan Gerindra meminta Pilkada serentak tetap dilangsungkan pada 2024 sesuai UU Pilkada.

Ketua DPP PDI-P Djarot Syaiful Hidayat mengatakan, persoalan Pilkada serentak selama ini cenderung lebih pada aspek pelaksanaan, bukan substansi peraturan perundangan-undangan.

Untuk itu, ia meminta, Pilkada serentak tetap dilakukan pada 2024.

“Atas dasar hal tersebut, sebaiknya Pilkada Serentak tetap diadakan pada tahun 2024. Hal ini sesuai dengan desain konsolidasi pemerintahan pusat dan daerah,” kata Djarot dalam keterangan tertulis, Kamis (28/01/2021).

Djarot juga menegaskan, sikap partai tersebut tidak ada kaitannya dengan upaya untuk menghambat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan kepala daerah lainnya.

Salah satu Pilkada yang akan digelar pada 2022 adalah Pilkada DKI Jakarta. Sementara, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan Pilkada serentak ditetapkan pada November 2024.

Sehingga, jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023 akan diisi pejabat sementara, termasuk posisi Anies Baswedan.

“Jelas tidak benar (menghambat panggung politik Anies Baswedan). Tidak terkait dengan pak Anies Baswedan juga gubernur-gubernur yang lain seperti Jabar, Jatim, Jateng dan seterusnya, UU-nya juga diputuskan di tahun 2016 atau sebelum Pilgub DKI,” ujar Djarot.

Senada dengan itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Luqman Hakim menilai, Pilkada serentak harus digelar sesuai ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2016.

Alasannya, saat ini Indonesia masih fokus dalam penanganan pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi.

Ia memprediksi, sekitar dua tahun ke depan, Indonesia masih akan fokus dalam menangani pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, apabila Pilkada dilaksanakan pada 2024, pemerintah akan lebih fokus pada penanganan pandemi.

“Dengan skema Pilkada serentak 2024, situasi politik nasional akan lebih kondusif dan anggaran negara dapat difokuskan untuk memulihkan ekonomi, mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang melonjak akibat pandemi Covid-19,” ujar Luqman, saat dihubungi, Kamis.

Demokrat, PKS, Nasdem dan Golkar

Adapun sikap berbeda ditunjukkan Demokrat, PKS, Nasdem dan Golkar, yakni mendorong Pilkada serentak 2024 dinormalisasi, sehingga Pilkada digelar pada 2022 dan 2023.

Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan, jika pelaksanaan Pilkada berdekatan dengan Pilpres, masyarakat akan kehilangan momentum mendalami visi misi dan rekam jejak calon kepala daerah.

“Bagaimanapun, Pilpres memiliki daya magnet yang luar biasa. Keserentakan pilpres dan pileg di 2019 lalu, memberikan contoh nyata bagaimana pileg tenggelam di tengah hiruk pikuk pilpres. Begitu juga kemungkinan nasib Pilkada,” ujar Herzaky dalam keterangan tertulis, Rabu (27/01/2021).

Akan tetapi, Herzaky menghormati dinamika dan opsi apapun yang akan disepakati antara DPR dan pemerintah terkait RUU Pemilu demi merawat demokrasi di Indonesia.

Ia mengingatkan, jangan sampai ada pihak yang memaksakan Pilkada serentak 2024 hanya kerena kepentingan pragmatis yang tidak pro-rakyat.

“Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres,” ujar Herzaky.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengatakan, Pilkada 2022 dan 2023 perlu dilakukan agar sejumlah daerah tidak dipimpin ratusan pejabat sementara (Pjs) dalam jangka panjang.

Ia mengingatkan, di tengah pandemi Covid-19 ini sejumlah daerah membutuhkan kepala daerah definitif untuk menangani pandemi.

“Justru di masa krisis diperlukan kepala daerah definitif hingga bisa menjadi nahkoda utama mengawal krisis. Usulan PKS, pilkada serentak dilaksanakan 2,5 tahun sesudah Pemilu 2024 agar dapat juga berfungsi sebagai pemilu sela yang mengoreksi pemenang Pemilu 2024,” ujar Mardani saat dihubungi, Kamis (28/01/2021).

Sekretaris Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, pelaksanaan pemilu serentak sebagaimana diatur dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menimbulkan beban kerja penyelenggara yang berat.

Pemilu 2019 yang digelar serentak untuk Pileg dan Pilpres menyebabkan lebih dari 400 penyelenggara yang meninggal dunia akibat kelelahan dan sakit saat bertugas.

Merujuk pada pertimbangan tersebut, Saan menilai evaluasi terhadap peraturan pemilu dan pilkada bisa dilakukan dalam pembahasan RUU Pemilu.

Ia menyebut sejumlah penilaian politik sebaiknya dikesampingkan.

“Mari kita berpikir rasional, kita revisi secara menyeluruh. Agar format demokrasi kita semakin stabil. Kita ciptakan UU Pemilu supaya bisa digunakan berkelanjutan,” kata Saan, dalam diskusi virtual, Sabtu (30/1/2021).

Kemudian, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin mengatakan, partainya menginginkan pelaksanaan Pilkada dilaksanakan pada 2022 dan 2023.

Alasannya, jika Pilkada dan Pilpres digelar bersamaan pada 2024, meski berbeda bulan. Maka, hal ini membuat membengkakkan anggaran yang dikeluarkan negara.

“Apakah negara di situasi seperti ini akan mampu untuk beban anggaran pelaksanaan Pemilu (Pilkada) dan Pilpres,” kata Nurul saat dihubungi, Kamis (28/01/2021), dilansir Tribunnews.com.

Tak hanya soal anggaran, Nurul mengatakan, normalisasi jadwal Pilkada juga dilatarbelakangi jumlah petugas penyelenggara Pemilu yang meninggal pada Pemilu serentak 2019

Ia pun optimistis Pilkada bisa dilaksanakan pada 2022 seiring berjalannya program vaksinasi Covid-19.

“Rencana pemerintah vaksin menyeluruh baru dilaksanakan akhir tahun ini atau awal tahun depan. Itu kan masih ada waktu buat kita, sementara Pilkadanya bulan Oktober,” ujarnya.

Sikap pemerintah

Menanggapi polemik perbedaan jadwal Pilkada, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengatakan, Pilkada seharusnya tetap dilaksanakan pada 2024.

“Sesuai dengan UU yang masih berlaku tersebut, maka jadwal Pilkada berikutnya adalah 2024. Jadi, jika Pilkada dilaksanakan sesuai jadwal, maka jadwalnya adalah 2024,” kata Dirjen Politik dan Pemerintah Umum Kemendagri Bahtiar pada wartawan, Jumat (29/01/2021).

Menurut Bahtiar, seharusnya UU Pilkada yang saat ini berlaku dilaksanakan terlebih dahulu, baru kemudian direvisi.

“Tidak tepat jika belum dilaksanakan, sudah direvisi. Mestinya, dilaksanakan dulu, kemudian dievaluasi, baru kemudian direvisi jika diperlukan,” imbuh Bahtiar. Kompas.com | Wartatasik.com

Berita Terkait