Soal Bansos Covid 19, Dede: Pemkot Harus Bertanggungjawab

Ketua LSM GMBI Distrik Kota Tasikmalaya Dede Sukmajaya | Dok-Wartatasik

Kota, Wartatasik.com – Kejadian pandemi Covid 19 di seluruh dunia banyak menyisakan permasalahan ekonomi dan sosial, seperti yang terjadi di Indonesia yang sangat terasa dampaknya.

Akan tetapi pemerintah pusat, provinsi dan juga daerah bersepakat untuk menggunakan anggaran pembangunan, baik infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa, hampir 60 % dipindahkan untuk digunakan dan dipakai dana percepatan penanggulangan Covid 19 sampai ketingkat kelurahan.

Namun pada kenyataannya pemerintah tidak konsisten dalam hal penyaluran dana bansos tersebut, seperti apa yang di sampaikan oleh presiden RI, Gubernur Jawa Barat dan bahkan Wali Kota Tasikmalaya sama berbicara dana bansos.

Seolah bansos tersebut sangat luar biasa dan mampu menyelematkan perut lapar masyarakat, tetapi pada kenyataannya tidak seperti apa yang di harapkan masyarakat sesuai janji dari pemerintah.

Ketua LSM GMBI Distrik Kota Tasikmalaya Dede Sukmajaya menyebut, contoh bansos yang terjadi di Kota Tasikmalaya. Ia menuturkan, warga di data melalui RT RW yang memang di pinta oleh Dinas Sosial pada saat itu ternyata hanya beberapa orang saja yang mendapat bantuan sosial.

Bahkan, sampai berita ini di turunkan masyarakat masih menunggu realisasi bansos, baik yang dari Pemkot, Gubernur dan Presiden (Kemensos).

“Sudah soal data ini kacau balau, tumpang tindih dan kisruh, pemerintah pun ternyata menyerah tidak sanggup memberikan janji manisnya selama ini . Jangan jangan pemerintah kita ini mulai bangkrut tidak punya duit lagi ” tutur Dede.

Selain itu, penerapan aturan soal PSBB dan lain lain yang berkaitan dengan Covid 19 pemerintah pun seperti ragu atau tidak mengerti tentang Undang – undang nomor 6 tahun 2018 yang mengatakan bahwa pelaksanaan karantina wilayah atau PSBB harus di barengi oleh pelaksanaan undang undang tersebut diatas.

Dede mengaku, dirinya sudah banyak sekali mendapat laporan dari masyarakat dan mempertanyakan tentang bansos tersebut.

Baik itu dalam hal kekisruhan data dan indikasi dugaan bahwa pemerintah sudah tidak sanggup memberikan bansos sesuai dengan yang dijanjikan serta di gembar gemborkan itu.

“Maka ini suatu pertanda buruk bagi kondisi bangsa ini.bahkan saya mengkhawatirkan terjadinya gejolak sosial ditengah tengah masyarakat dan ini akan mengganggu tatanan pemerintahan dalam pelayanan kepada masyarakat,” cemas Dede.

“Serta akan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah. Dan yang lebih di dikhawatirkan pada saat gejolak ditengah masyarakat, kemudian tidak bisa terkendali maka gejolak itu akan semakin melebar kemana mana, apalagi pemerintah tidak segera mencarikan solusinya,” sambungnya.

Mau tidak mau kata Dede, pemerintah daerah harus bertanggungjawab atas kejadian seperti sekarang ini, karena tidak mungkin masyarakat menuntut ke tingkat provinsi dan pusat.

Lantaran itu, LSM GMBI berharap kepada pemerintah untuk segera melakukan antisipasi terhadap adanya gejolak sosial ini, sebab kalau tidak maka resiko akan lebih besar yang akan ditanggung oleh pemerintah.

Dede juga berharap kepada pemerintah daerah, agar terbuka atau paling tidak ada transfaransi dalam urusan penyerapan dana Covid 19 baik untuk pengadaan APD, masker dan operasional gugus tugas, karena menurutnya saat ini masyarakat sedang mengarah dan menyoroti soal itu.

“Terbuka saja, misalkan untuk pengadaan APD berapa nominalnya dibelikan apa saja barangnya, siapa pemenang lelangnya, perusahaan mana pemenangnya, kemudian pengadaan masker juga harus transparan nama perusahaannya, pemilik perusahaannya dan harganya serta jumlahnya jangan sampai bertolak belakang dengan kenyataannya,” paparnya.

Adapun terang Dede, soal dana operasional gugus tugas juga harus terperinci setiap orangnya berpakaian HOK nya, habis berapa semuanya dan berapa lama, karena itu semua sangat penting di buka kepada publik agar tidak menimbulkan su’udzon (buruk sangka) masyarakat.

Dede menjelaskan, keberadaan LSM GMBI atau ormas serta warga masyarakat adalah sama dan harus menjadi kontrol sosial terhadap kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah.

“Ya, sebagaimana di atur dalam undang undang nomor 28 tahun 1999 tentang Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,” pungkasnya. Redi

Berita Terkait