Tuntutan Pemerintah atau Kebutuhan Keilmuan diri?

SIGIT APRIYANTO, M.Pd., PhD (c) Doctor of Forensic Linguistics University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM) | dokpri

Alibi “Akal Sehat” dari seorang pembelajar

Referensi, Wartatasik.com – Selalu ada hal baru dan menarik dalam dunia pendidikan. Belum lama ini, pemerintah melalui menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy mengeluarkan kebijakan baru tentang Zonasi.

Terlepas dari pro dan kontra, sistem zonasi digadang-gadang sebagai upaya pemerintah untuk pemerataaan pendidikan.

Tidak ada lagi sekolah favorit. Pemerataan disini secara sepintas berfokus pada jarak rumah ke sekolah yang dituju.

Meski parameter jarak belum sepenuhnya tepat jika meihat keadaan real dilapangan, khususnya di daerah-daerah. Disisi lain, rotasi guru juga menjadi fokus pemerintah sebagai upaya untuk mencapai pemerataan pendidikan tersebut.

Sebagai informasi, bahwa seorang guru harus siap dirotasi secara periodik. Guru tesebt tidak boleh menetap di satu sekolah saja hingga masa pensiun.

Sekali lagi, hal ini bertujuan untuk pemerataan pendidikan. Guru profesional Kembali lagi bahwa meningkatkan kualitas guru akan berbicara tentang keprofesionalan seseorang didalam dunia pendidikan.

Kata profesional menurut menurut Prof. Soempomo (1987) adalah seseorang yang mempunyai sistem pengetahuan yang isoterik, ada pendidikannya, dan ada latihannya.

Dari penjelasan ahli tersebut, dapat ditarik haris kesimpulan bahwa seseorang dikatakan profesional jika memiliki minimal tiga poin, yaitu memiliki skill (kemampuan), knowledge (keilmuan) dan attitude (sikap). Ketiga poin tersebut harus ada pada diri seorang guru profesional.

Jika salah satu poin hilang, maka belum bisa dikatakan profesional.

“Guru hebat itu bisa mengantar semuanya menjadi pintar”, tutur menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy.

Sebagai seorang pendidik, penulis cukup khawatir jika seseorang memiliki pandangan sempit terkait dengan hal ini.

Perlu dijelaskan bahwa tugas guru bukanlah untuk membuat siswanya pintar, karena apabila dikemudian hari anak tersebut tidak berhasil menjadi pintar, boleh jadi seornag guru akan menjadi emosi dan kecewa.

Penulis lebih cenderung menggunakan kata “mendidik” dalam kontek dunia pengajaran. Belajar tidak hanya menyampaikan materi saja, melainkan harus ada transfer “ruh” kebaikan didalam proses pendidikan itu sendiri.

Seseorang hanya akan mendapatkan nilai “angka” saja jika tujuannya adalah pintar. Karena pintar parameternya adalah output angka.

Hal ini bisa direnungkan bersama.
Fokus pemerintah, pembangunan SDM
“Guru tidak boleh main-main dengan tunjangan profesi dan harus bekerja keras.” Pernyataan ini disampaikan oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy pada suatu acara di Jombang Minggu lalu.

Penulis mempunyai pandangan tersendiri terkait hal ini. Kualitas dan profesionalitas seorang guru tidak bisa dinilai hanya dari satu indikator yaitu pengajaran.

Seorang guru dibekali dengan kemampuan mengajar. Tapi tidak semua guru dibekali kemampuan menulis dan berpikir ilmiah serta menuangkannya dalam bentuk karya publikasi.

Perlu disadari bersama bahwa sistem pendidikan dan keilmuannya akan terus berkembang. Seorang guru dituntut aktif dan produktif dalam mengembangkan keilmuannya dan potensinya.

Permasalahan pendidikan itu banyak, namun tidak banyak yang mengangkatnya dalam sebuah penelitian supaya muncul sebuah pembaharuan, baik sistem, wacana, dan proses.

Perlu kiranya, kesadaran diri pada seorang guru digugah dengan pola kreatif dan berorientasi pada luaran nyata buah pikir manusia, yaitu karya (buku dan publikasi jurnal).

Dari situlah kemudian pola pikir dan wawasan seorang guru terasah dengan hal baru dan terbarukan. ** Oleh: SIGIT APRIYANTO, M.Pd., PhD (c) Doctor of Forensic Linguistics University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM)

Berita Terkait