Pasca Audien dengan Tim Gugas Tugas, Forsil RTRW Terus Pantau dan Kawal Statemen Wali Kota Tasik

Ki-ka: Ketua Forsil RTRW, Bendahara Umum dan Ketua Kompepar | Asron

Kota, Wartatasik.com – Menyikapi pasca audien dengan tim Gugus Tugas, nyaring terdengar gembar gembor pemerintah Kota Tasikmalaya yang akan bertanggungjawab meng-cover bantuan sosial bagi warga non DTKS terdampak Covid 19.

Ketua Forum Silaturahmi Rukun Tetangga Rukun Warga (Forsil RTRW) Dede Sukmajaya mengaku akan terus memantau dan mengawal hingga tanggal 18 Juni nanti sesuai statement Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman.

Dede menyebut, ketika dalam tanggal tersebut, Kemensos dan provinsi Jawa Barat menyatakan tidak sanggup lagi memberikan bansos Covid 19, maka wali kota siap tanggungjawab mengganti bansos.

“Wali Kota sudah mempersiapkan dana diangka Rp 42 miliar untuk mengkoper warga non DTKS dari bantuan tahap satu sampai tiga. Disini, Kita belum berbicara teknis,” ungkap Dede didampingi Bendahara Umum H Enjang, saat ditemui Wartatasik.com, Selasa (16/06/2020).

Meskipun sudah ada sinyalemen warga non DTKS akan dibantu Rp 250 ribu per KK, ia berpendapat akan tetap jadi masalah, sebab masyarakat sudah tertanam informasi, jika bantuan provinsi itu senilai Rp 500 (Rp 350 berbentuk sembako dan tunai Rp 150 ribu), lalu bantuan Kemensos sebesar Rp 600 ribu.

Menurutnya, yang akan jadi korban tetap adalah RT dan RW, lantaran itu, Dede memberi gagasan kepada Pemkot Tasikmalaya untuk bantuan tahap pertama itu diberikan saja sesuai dengan nominal asli dari Kemensos dan Provinsi. Kemudian, tahap keduanya baru diberikan Rp 250 per KK.

“Kita nunggu dua hari lagi, bagaimana keputusan kemensos dan provinsi, tapi ingat, kalau teknis salah, yang akan jadi korban adalah RT RW. Alhamdulillah kita sudah mendekatan diri dengan pemerintah, agar bisa para RT dan RW bisa dilibatkan dalam teknis distribusi,” ungkapnya.

Dijelaskan Dede, Forsil RT RW terus berbicara dan mengamankan data soal bansos, murni demi membela RT dan RW agar tidak terus menerus jadi korban kemarahan warganya. Pasalnya, ada RW 07 di Kelurahan Cigantang mendapat perlakuan kasar dari oknum warga yang disangka tidak menyampaikan data ke pemerintah.

“Iya, ada RW 07 disangka tidak sampaikan data ke pemerintah, bahka dituduh korupsi. Oknum warga tersebut datang seperti preman, teriak dengan kalimat kasar, kebetulan RW 07 itu sebagai bendahara umum di Forsil RT RW. Siapapun akan kami bela, kami sudah persiapan divisi hukum untuk keadilan dan efek jera,” tegasnya.

“Tidak mungkin RT RW tak sampaikan data, itu tidak mungkin, kita murni bela hak warga, persoalannya adalah amburadulnya DTKS dari Kemensos,” sambung Dede.

Forsil RT RW sudah memberikan saran agar DPRD, Dinas Sosial, BPS ataupun yang kompeten agar sowan ke Kemensos guna membicarakan pemutahiran data, namun dengan sarat harus melibatkan RT RW.

“Data terkait BPNT, PKH dan lainnya harus di evaluasi, banyak yang salah sasaran dan tumpang tindih. Harus merumuskannya juga tentang kriteria mendapatkan bantuan, sebab kalau bicara miskin, seperti apa sih kriterianya,” bebernya.

Dede mendengar, jika DPRD sudah audiens dengan BPS seolah akan merumuskan perda tentang bansos, namun Forsil RT RW menahan karena hanya akan buang waktu.

“Nanti dulu, jangan dulu buat perda, kalau belum duduk bersama dengan Kemensos, itu akan terjadi dualisme peraturan-peraturan, akan tumpang tindih lagu aturan dan tentunya menghamburkan uang negara. Pokoknya data harus baru, dirumuskan dari sekarang, jangan sampai data penerima Covid 19 kemarin dijadikan dasar data, itu sudah salah datanya,” pinta Dede.

Ia menilai, idealnya pemutahiran data warga satu atau dua tahun, dengan evaluasi setiap enam bulan sekali, sehingga akan real dan up to date, karena ekonomi warga itu berputar.

“Data yang sekarang itu tumpang tindih, mulai dari kepentingan PKH, ada TKSK, BPS dan agennya di setiap kelurahan, ada dari pertanian, ada dari Indag, namun siapapun yang mendata, jika melibatkan RT RW, maka semua akan beres,” tuturnya.

Sebagai warga, Dede malu ketikamendengar Kota Tasikmalaya salah satu daerah termiskin se-Jawa barat. Padahal, kota berjuluk Santri ini barometer ekonomi di Priangan Timur, sehingga tak masuk akan mendapat predikat tersebut.

“Jika diliat, Kota Tasikmalaya ini banyak anggaran bansosnya dari provinsi, jangan jangan ada sebuah permainan, ada indikasi unsur bisnis dari program BPNT dan PKH. Lihatlah, Kota Tasikmalaya ini maju, pusat ekonomi, berdiri Bank Indonesia, pusat hiburan bahkan berdiri hotel berbintang,” cetusnya.

Sementara, Ketua Kompepar Endang Purnama menyoroti sistem yang dilakukan Pemkot Tasikmalaya dalam penanganan Covid 19. Ia merasa aneh dengan sistem penyedotan anggaran. Salah satu contohnya, Wali Kota Tasikmalaya diberi kebijakan mengambil 60 persen dana kelurahan.

Namun kata ia, kenapa tidak dikunci saja dana di kelurahan tersebut untuk dikelola oleh pihak kelurahan agar lebih efisien dan fokus menangani warga.

“Kan lurah bisa koordinasi dengan para RT dan RW, siapa yang kelaparan dari dampak Covid 19, Pemkot Tasikmalaya tinggal menyediakan armada untuk logistik, jadi tidak repot dan ribet. Jangan sampai pandemi ini jadi ajang pencitraan,” ujarnya.

Ia pun menyarankan agar data penerima bantuan dipampang di tiap kelurahan, lalu di gandakan yang selanjutnya disebar ke RT RW untuk di tempelkan di wilayahnya yang strategis.

“Hal itu agar tidak terjadi lagi kericuhan ataupun salah paham terhadap RT maupun RW. Data transparan, tak perlu lagi bolak balik tanya RT RW,” pungkasnya. Asron

Berita Terkait